Pagi itu hujan turun, tapi tersisa rintiknya saja. Surya melawan rasa malas yang mengukungnya untuk berasa ditenda. Dijajali dinginnya air yang mengalir di sisi tenda saat ia membuka resleting nya. Rasanya sejuk dan mengejutkan, terlebih saat ia melihat Lia memunggungi tendanya.
Sedang apa? Surya terus bertanya tanya. Pasalnya, hujan baru saja reda. Tapi Lia sudah berada disana cukup lama—terlihat dari pakaiannya yang basah.
“Lia, kok diluar?” tanyanya, namun tak dijawab oleh Lia. Pemudi itu malah melontarkan pertanyaan baru.
“Rya....aku baik baik aja kan ya?”
Pemuda jangkung itu mengerutkan alisnya, kemudian Lia melanjutkan kalimatnya, “Aku cuma kecapekan aja kan ya?”
“Yang aku denger, dan rasain...itu cuma karena aku kecapekan kan?” tanya nya dengan mata penuh harap jawabannya adalah iya. Namun karena situasinya begini, Surya memilih mempertanyakan kejelasan.
“Emangnya apa yang kamu denger dan rasain?”
“Dia nyuruh aku untuk minta maaf. Aku tau aku salah apa, dan aku udah minta maaf. Tapi dia selalu dateng lagi dan lagi. Bahkan setiap malam, sejak aku....”
“Iya, aku paham, terus?” jawab Surya yang peka dengan apa yang Lia maksud.
“Sejak itu, dia selalu nemenin aku tidur dan...” lanjutnya namun terhenti lagi. Tubuhnya gemetar membayangkan kejadian yang selalu menimpanya tiap malam. Tubuh seperti digerayangi sebuah tangan, padahal pada saat itu Windu teman setendanya tidur begitu tenang.
“Dan...” ujarnya mencoba sekali lagi. Namun karena ada perasaan hina, tubuhnya selalu merinding dan gemetaran.
“Gak usah dilanjutin kalo gak sanggup.”
“E-enggak, aku harus ngomong...biar semuanya jelas.” sanggahnya, “Kamu tau, rasanya kayak sekujur tubuh kamu di lecehin tanpa wujud yang jelas. Dan saat itu aku sama sekali gak bisa gerak untuk berontak.” lanjutnya. Kemudian pemudi itu mengatur napasnya sejenak yang terasa menyesakkan.
Surya pun memberanikan diri untuk merangkul Lia agar ia merasa tenang. Namun justru itu menjadi hal yang salah, Lia terkejut dan segera menjauhkan diri dari Surya. Ia menjadi sangat sensitif saat di sentuh. Dan hal tersebut juga tampak dari bibirnya yang gemetar ketakutan.
“M-maaf...” tutur Lia.
“Ah enggak, aku yang harusnya minta maaf.” jawab Surya. “Tapi gak ada siapa siapa disamping kamu....”
“Aku tau, udah aku duga itu cuma imajinasi aku karena kecapekan.” jawabnya sambil mengeratkan jaket. Setelah mendengar reaksi Lia, kepala Surya seperti sedang beradu pemikiran. Kubu lain menyalahkan atas pernyataan yang Surya buat, namun kubu lainnya membenarkan perbuatan yang Surya lakukan. Hingga akhirnya kepala Surya mendapatkan jalan tengahnya, bibir itu lekas mengungkapkan nya.
“Tapi aku percaya kok sama apa yang terjadi sama kamu.” ucapnya karena takut Lia merasa ucapannya hanya bualan. Surya berpikir untuk memercayai Lia lebih dulu adalah hal yang Lia butuhkan. Namun jika bukan, ia juga bersiap untuk menimpali kalimatnya dengan pemikiran yang berbeda. “Mungkin juga karena kecapekan, kebanyakan orang suka begitu.”
Lia menatap mata Surya dengan perasaan campur aduk, Surya seolah mengerti perasaannya yang tidak jelas ini. Yang sulit untuk ia ungkapkan dengan sebuah kalimat. Akhir dari kalimat Surya membuat otaknya terkontrol tenang, Lia mendapatkan keduanya sekaligus. Kepercayaan, dan ketenangan.
“Rya, aku juga mau minta maaf udah ngotorin nama organisasi kita karena perbuatan aku. Harusnya aku tau diri dan tau tempat. Kalau kejadian ini bakalan ke ungkap, tolong sampein permintaan maaf aku ya, aku gak tau bisa ngelakuin itu atau enggak.” jawabnya mengecil di akhir kalimat. Sedangkan jemarinya terus meremat ujung jaket.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenade
Fanfiction"Ini udah mustahil gak sih?" collaboration with dreamizluv cover by happyytal