20

9.8K 1.9K 823
                                    

heloo, ada pesan di akhir bab ini. dibaca yaaa (^o^)/ enjoooy~



"Kasih minum kasih minum!" tutur Haje panik.

"Gak ada!" jawab Karin ikut panik.

"Nih nih nih, tinggal dikit!" Yiren memberikan sedikit airnya yang tersisa untuk Chaaya. Karina memangku kepala Chaaya, berusaha membuatnya untuk minum karena pemudi yang baru saja dirasuki terkapar lemas.

"Tau tempat dong!" kesal Ekal di belakang sana hingga mendorong pundak Jeno. "Tahan nafsu lo kek."

"Bawa kedalem aja, biar istirahat." usul Han sambil membukakan tirai tenda. Haje pun membopong Chaay masuk kedalam. Sisanya berada di luar saling diam.

Tiba tiba Lia menjatuhkan diri, kemudian menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia di ambang frustasi dan merasa bersalah. Ia merasa kehadirannya begitu merugikan orang orang. Benar kata ayahnya jika dirinya adalah anak pembawa sial. Ia akhirnya paham mengapa ia pantas mati. Ia tidak pernah beruntung, meski ibunya memberinya nama berlian, ia tidak terasa berharga dan membawa suatu keuntungan.

Maudy hendak mendekat, ia paling tidak bisa melihat seseorang menangis. Karena sekarang pun ia sudah menjatuhkan air mata. Namun, Windu menahannya, karena suruhan Nalen juga yang melarang lewat matanya.

Mungkin ini akan menjadi satu-satunya cara agar Lia merasa jera, begitu juga dengan Jeno. Merutuki kesalahannya sudah bukan lagi hal yang di perlukan. Mereka harus membayar perbuatannya seperti yang makhluk itu minta. Namun, mereka tidak tau harus berbuat dengan cara apa.

"Lo waktu ngelakuin itu tuh sadar gak sih, Jen?" tanya Ekal yang masih menyimpan banyak keluhan di dadanya.
"Gue tau, kalengan begitu mah gak akan bikin lo mabok. Tapi kenapa lo kayak gak punya akal sehat sih?" bongkarnya.

"Minum?" ucap orang orang di sekitar yang terkejut.

"Mana sampahnya gak di pungut, gua lagi yang beresin. Pinteran dikit lah kalo mau ngapa ngapain tuh."

Jeno benar benar terdiam, ia tidak berniat mengelak. Ia tau betul ia salah besar disini.

"Kalo Haje sampe tau....abis sih lo!" ucap Ekal mengakhiri dialognya. Tubuhnya berbalik hendak pergi, namun waktunya sangat lah pas, Haje sudah berdiri di sana dan mendengar semuanya.

Tanpa menunggu lama, sebuah pukulan berhasil menghuyung Jeno jatuh ke tanah. Tanpa perlawanan, Jeno memerintah tubuhnya untuk diam dan menerima semua pukulan yang kawannya berikan.

"BANGSAT LO UDAH INGKAR JANJI SAMA GUA! LO BILANG GAK AKAN ANEH ANEH TAPI BANGSAAAAT LO ANCURIN KEPERCAYAAN GUA!"

Emosinya meluap, dadanya naik turun secara brutal bahkan ia sampai sesak napas. Di bawah sana, Jeno terkapar dan tak sanggup menatap mata kawannya. Haje mencengkram baju Jeno hingga pemuda itu sedikit terangkat, dan berkata, "Gak sekali aja lo begini, Jen. Ini namanya bukan khilaf. Lo sengaja!"

Kemudian pemuda bergelar leader itu menjatuhkan Jeno kembali ke tanah. Lalu berdiri dan menatap seluruh mata yang kini juga sedang menatapnya. Air mata yang ia sembunyikan itu tiba tiba menggenang. Pandangannya sedikit kabur namun ia berhasil untuk menolak kedatangan sang air mata.

Haje meneguk ludahnya kasar, lalu mengatur napasnya sedemikian rupa untuk melanjutkan unek uneknya.

"Lo patahin semua harapan mereka dengan kelakuan lo yang gegabah," ujarnya tegas sambil menunjuk rekan rekannya, "Gak beretika, gak beradab. Tempat ini sakral....lo gak bisa seenaknya."

Tubuh Jeno bergetar, matanya sudah merah menahan air matanya yang sudah beberapa tetes jatuh ke tanah.

"Harusnya mereka semua udah pulang ke rumah. Tapi apa? Kita semua malah ketahan. Makanya kalau mau ngapain ngapain tuh dipikirin duluuu.....annjiingg!" ucap Haje gemas sambil menggigit bajunya sendiri dan menenggelamkan wajahnya dalam kaus. Ia ingin sekali memukul Jeno lebih kencang dari pukulan pertama. Namun ia tidak tega karena keadaan Jeno kini tidak sebanding dengannya.

SerenadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang