13

6.5K 1.4K 183
                                    

Perjalanan pagi ini terasa sangat lama, sebab kabut tebal menghalangi pandangan. Matahari bersembunyi sejak waktu terbit, yang datang hanyalah hujan. Gerimis kecil yang awet hingga pukul 12 siang.

Semuanya berjalan dengan sangat hati hati, bahkan lima kali lipat lebih hati hati. Tak jarang, mereka juga terpeleset. Pakaian yang kotor dan basah, sepatu pun juga sama lembabnya, yang membuat mereka akhirnya menepi. Beruntung, ada pendopo di sekitar sini. Meski terlihat kumuh, mereka tetap menempatinya karena sebuah keharusan.

Sejak pagi, Yiren sudah 3 kali muntah muntah. Bahkan lebih banyak dari jumlah makannya dalam sehari. Ini semua karena cuaca dingin dan Yiren datang dalam keadaan kurang sehat. Pun  jadwal makannya yang semakin berantakan tak terukur.

Sedangkan sisanya, saling merapatkan diri untuk menghangatkan tubuh. Api unggun tidak bisa dinyalakan karena keadaan tanah yang basah. Sehingga, hanya itulah satu satunya cara. Mau mendirikan tenda pun tidak bisa karena tanah dikaki mereka berubah menjadi aliran sungai berkat hujan yang awet ini.

Haje baru aja selesai diskusi bersama Malik dan juga Surya. Perihal sampai kapan mereka akan berteduh jika kabut tak kunjung reda. Setengah jam setelahnya, Haje baru bisa beristirahat. Ia duduk disamping Yiren yang tertidur dengan posisi duduk diselimuti dengan kain tenun miliknya sendiri.

Wajah Yiren begitu pucat dan menandakan bahwa ia kelelahan. Wajar, ini kali pertamanya naik gunung. Meski sebelumnya ia rutin berolahraga, tak memungkiri ia bisa kelelahan juga.

Pemuda itu merapatkan jaketnya, bersiap untuk memejamkan mata. Namun sebuah kepala bertumpu pada pundaknya. Awalnya, ia tak begitu menghiraukan, beberapa saat hampir saja terlarut dalam tidur, sebuah tangisan kecil berbisik ditelinganya. Terpaksa, ia kembali membuka mata dan mengecek sekeliling.

Semua tertidur dengan damai tak ada gelisah, ia pun melirik Yiren yang hanya bisa ia lihat pucuk kepalanya saja. Pemuda itu mensejajarkan wajahnya menatap bibir pucat yang gemeteran, ditambah alis yang mengkerut seperti suasana tak mengenakan.

“Yi?” panggilnya, dan Yiren semakin menangis dengan mata terpejam nya. Mimpi buruk mendatangi pemudi itu, Haje mencoba menenangkannya dengan terus mengelus surai coklat itu. Namun tidak berhasil, Yiren tak kunjung membuka matanya atau semakin tenang. Dipegangnya kening pemudi itu yang panasnya mungkin bisa mendidihkan sebuah air.

Ia merogoh di saku celananya, sebuah obat paracetamol tablet yang sudah ia sediakan. Ia juga mengorbankan air terakhirnya agar Yiren bisa meminum obatnya. Saat pulang nanti, ia akan mengisi ulang botolnya jika menemukan sumber mata air.

Pemuda itu merangkul pundak Yiren, bermaksud untuk membuatnya duduk tegak dan terbangun agar dapat meminum obatnya. Sedikit memakan waktu, Yiren baru bisa tersadar lima menit seusai Haje mengguncang guncang perlahan tubuh mungil itu.

Obat berhasil di telan, Yiren merasa lebih baik karena sugesti nya. Pemudi itu mengelap bulir air matanya dan kembali bersandar pada dinding rotan. Ia menghela napasnya yang terasa berat, seperti telah melalui banyak hal yang berat.

“Lo mimpi buruk?” tanya Haje. Yiren memejamkan matanya dan mengangguk. Menghapus jejak air matanya yang teramat ia benci.

Pemuda itu hanya menatapnya dengan tatapan biasa, tak mungkin ia bertanya mengenai mimpi buruk itu. Orang tua bilang, jika menceritakan kembali tentang mimpi buruk, cepat atau lambat hal itu akan menjadi kenyataan. Maka, ia tak ingin memancing petaka, lebih baik ia diam tak perlu bertanya tanya.

“Je, pokoknya lo harus pulang ya,” ucap Yiren terdengar lemah. Pemuda bermata kucing itu melirik sambil menyelimuti kembali Yiren dengan kain tenun itu.

SerenadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang