29

6.9K 1.3K 320
                                    

Nalen diam dengan alis mengerut menatap wajah pucat Windu yang di selimuti selimut darurat untuk menjaga suhu tubuhnya tetap hangat. Dalam benaknya, ia mengomeli ketidak jujuran sepupunya tentang kondisi tubuh Windu yang memburuk. Ia sudah tau sejak awal, pasti Windu ada apa apa. Menjadi diam dan murung bukan seperti Windu yang Nalen kenal. Ia sudah curiga mulai saat itu.

Bibir Windu masih gemetar, udara di dalam sini padahal sudah cukup hangat. Namun keadaan perut yang kosong memperburuk keadaan. Gak ada energi yang bisa dihasilkan tubuh untuk menghasilkan panas. Hanya mengandalkan selimut darurat, sleeping bag dan kumpulan orang orang yang berdesakan di dalam tenda ini.

Deru napas di dalam sini terdengar satu sama lain. Terlebih Nalendra yang rentan terhadap dingin sudah mulai terserang pilek. Sehingga deru napasnya paling kencang terdengar karena ia kesulitan bernapas.

Dan di dalam sini pun orang orang banyak melamun karena memang tak ada yang bisa mereka lakukan selain duduk dan menanti hujan berhenti. Meski badai telah berlalu, mereka masih harus berlindung di dalam sini agar tidak kedinginan. Tapi setidaknya ada cahaya remang dari senter yang membuat keadaan dalam gelap ini tidak terlalu membosankan. Mereka masih bisa mengamati satu per satu wajah yang melamun terbalut sendu.

Dengan wajah penuh air mata, yang meski berulang kali di seka terus bercucuran, Maudy dengan segenap perasaannya mencoba untuk tidak merepotkan. Sehingga dalam suasana hening ini, ia berusaha keras untuk tidak bersedih dan bersuara. Hingga sebuah tangan mengusap punggung tangannya yang mengepal.

Ojo wedi, ono aku. (Jangan takut, ada aku.)” bisik Farhan dengan tulus.

Maudy semakin meremat tangannya dan mengangguk cepat sambil memblokir air matanya yang akan turun.

Sepasang mata pun meliriknya, mengamati sesaat apa yang mengusik heningnya lalu kembali menatap apa yang ia tatap sebelum atensinya teralihkan. Di susul satu tarikan napas yang berat dan pejaman mata yang mulai kantuk. Tapi ia tidak tertidur, melainkan mengepalkan tangannya dan menyuarakan kesalnya.

“Kita ini di cari gak sih? Udah berapa hari kita di sini tapi gak ada satu pun bantuan yang dateng.” gumam Nalen masih dengan mata terpejam. Namun karena keadaan yang berdempetan ini, orang orang bisa mendengar gumamannya.

Lia mengusap usap punggung lebar Nalen yang basah. Tidak tau mau merespon apa keluhan rekannya itu. Bahkan dalam hatinya, ia terus mempertanyakan mengapa di gunung ini  seperti hanya ada dia dan teman temannya. Ia tidak mengerti dan berujung takut sendiri.

Bunyi air hujan masih terdengar bersentuhan dengan tenda. Menandakan bahwa hujan belum kunjung reda meski tak sederas tadi. Sehingga bunyi langkah yang menginjak genangan air terdengar cukup jelas mendekati mereka. Tak berlangsung lama, tenda hijau itu di sibaklah dan seorang lelaki yang basah kuyup terpampang jelas.

"Windu gimana keadaannya?" tanyanya pertama kali menghadap keenam orang yang berada di dalam.

"Eh Je! Masuk! Lo ngapain basah basah?" tutur Lia. Haje menolak dengan cepat dan menagih jawaban atas pertanyaannya.

Tapi tak ada yang bisa menjelaskan dan hanya menunjukkan keadaan Windu yang terkapar terbalut emergency blanket dan sleeping bag.

"Kita harus turun, cari tempat yang lebih aman." ujar Haje

Nalen menunjukkan ekspresi tak mengertinya, "Gue juga mau turun. Tapi sepupu gue kedinginan...gimana caranya kita harus pergi dari sini?"

Lia yang kebetulan berada di pinggir itu menarik celana Haje memaksanya untuk berteduh di dalam. Dan perlahan Haje menunduk dan melindungi tubuhnya di bawah sana. Pemuda itu berjongkok menatap dua bola mata yang tersirat kesal nan dilema.

SerenadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang