9

6.9K 1.6K 187
                                    

“Mahes?!” pekik Maudy. Laki laki berperawakan mirip sekali dengan Mahes mendangak karena pengelihatan nya tertutup oleh topi.

Maudy menjatuhkan barang bawaannya dan menghampirinya. Benar, itu memang Mahes. Namun wajahnya pucat pasi membuat Maudy menangkup wajah rekannya dengan telapak tangannya yang hangat.

Kademen ya?” tanya Maudy sambil melepaskan jaket miliknya dan menyelimuti punggung Mahes. Semua masih terdiam memandangi Maudy tanpa berbuat sesuatu. Sampai akhirnya Maudy kebingungan, dan ia menoleh. Banyak pasang mata memperhatikannya terlihat bingung dan tercengang.

Surya dengan sigap keluar dari barisan dan membantu melepaskan tas milik Mahes yang masih terpikul di bahunya.

“Li, tolong bikinin teh manis sama kopi gak pake gula ya.” tutur Surya pelan hampir berbisik. Lia mengangguk paham dan segera membuatkan segelas teh manis panas dan segelas kopi tanpa gula seperti apa yang Surya ucapkan.

Surya membawa Mahes untuk duduk di lahan yang ada, namun karena disana masih ada Jia, pemudi itu menawarkan tendanya untuk dipakai sementara.

“Dy, tolong siapin baju sama celana ganti buat dia ya. Kalo minumannya udah dateng, tolong kasih ke Kak Malik, oke?” tutur Surya menahan Maudy masuk ke tenda. Gadis berkulit sawo matang itu mengulum bibirnya dan menurut, meski ia sangat penasaran dan ingin masuk untuk mengatahui keadaan temannya.

Maudy membongkar isi tas Mahes yang tergeletak didepan tenda. Mencarikannya pakaian ganti yang nyaman dan tebal. Beruntung Mahes sangat apik dan teliti sehingga Maudy tak kesusahan untuk mencarinya. Baju, celana hingga pakaian dalam sudah di pisah satu persatu dalam kantong plastik.

Tepat sesaat ia selesai menyiapkan pakaian salin, minuman datang dan Malik juga sudah ada disini. Sehingga laki laki berdarah Kanada yang melanjutkan pendidikannya di kota kembang itu mengambil alih semuanya. Pakaian bersih dan dua gelas minuman Malik sendiri yang membawanya kedalam. Maudy hanya bisa mengintip dari celah tenda dan melihat Mahes sedang menatapnya balik.






Disisi lain, Ekal berdiri beberapa meter dari tenda bersama Jeno dan Haje. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi entah yang ada di ujung lidahnya ini boleh dikatakan atau tidak.

“Pucet banget gila, kayak bukan manusia.” celetuk Jeno. Ini persis seperti yang Ekal pikirkan. Haje dan Ekal mau menyangkal nya tapi apa yang barusan Jeno katakan adalah benar.

“Kalo hipotesis gak mungkin bisa nanjak gak sih?” tanya Ekal.

“Hipotermia ya dongo, hipotesis mah praduga.” ujar Haje.

“Iya...itu maksud gue.” kata Ekal. “Merinding juga ya lama lama,” lanjutnya yang sebenarnya hanya terlalu terbawa suasana. Sehingga hal negatif didalam pikirannya mampu memengaruhi dirinya.

“Yeu elo, jangan mikir yang macem macem makanya,” tegur Haje. “Gue bilang juga apa. Sebelum naik gunung, lo kagak usah nonton horor horor experience gunung. Kecuci kan otak lo.”

Ekal berdecak, “Ya kan ilmu, pegangan gue sebelum naik.”

“Ilmu mah kalo lo nyari tau caranya bikin api darurat, ngatasin hipotermia, ngelola logistik, yang gitu gitu. Bukan malah melajarin setan gunung.”

“Lah kan itu bagian lo. Bagian gue spesial kalo ada experience horor.”

“Terus?”

“Ya berdoa banyak banyak sambil menghindari pantangan. Kayak minum minum misalnya.” tutur Ekal sambil menekan kata minum.

“Orang gabut mana yang minum di gunung. Ngaco aja.”

“Ada ege, ntar gue tunjukin.”

“Jangan kebanyakan nonton youtube, Kal.” tutur Haje sambil menurunkan visor topi milik Ekal sehingga pengelihatan sang empu terhalang. Kemudian Haje pergi meninggalkan dua orang itu yang saling bertatap tatapan.


















SerenadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang