1

26.3K 2.8K 148
                                    

"Semua yang menginjakkan kaki di pendakian, adalah saudara. "

———————————————————

Malam itu, loket di pendakian Gunung Salak cukup ramai. Entah karena hiking yang tiba tiba jadi populer atau Nalen yang salah gunung. Tapi kalau ia lihat papan nya sih benar, ini Gunung Salak. Tumben tumbenan hiking di gunung ini ramai. Padahal niatnya cari yang sepi karena Laki laki semester 5 itu butuh healing dari dunia perkuliahan yang nguras banyak tenaga.

"Kita ngecamp dulu malam ini, besok pagi aja ngetracknya. Kasian Windu," tutur Malik, senior Nalen yang sengaja diajak karena udah berpengalaman hiking di Gunung Salak.

"Win, ayo!" ajak Nalen untuk segera naik ketempat camp.

Windu pun membuntuti jalan para seniornya. Berjalan diantara pepohonan lebat di dinginnya malam, udah biasa bagi Windu. Cewek itu juga gak takut sama hal mistis, jadi suasana yang seperti ini bukan masalah baginya.

Jarak dari loket ke basecamp gak telalu jauh. Meski harus gelap gelapan berjalan untuk sampai tujuan, tapi saat sudah di basecamp, rasanya sudah lega.

Banyak orang yang udah mendirikan tenda disana. Dan sudah asik mengobrol dengan rekan rekannya di dekat perapian. Nalen dan Malik satu tenda, dan Windu si bungsu itu mendirikan tendanya sendiri di samping tenda kedua seniornya.

"Bro, gue tinggal dulu ya." pamit Malik sesaat setelah kedua tenda untuk juniornya itu selesai dipasang. Nalen meng-iyakan karena sudah kesepakatan. Toh rencana awalnya saja memang Nalen yang ingin ikut ikutan. Malik mah sudah berencana hiking bareng temen temennya yang kebetulan juga sudah sampai. Enggak berangkat bareng karena temennya itu ada keperluan.

"Lo mau indomie, Na?" tanya Windu setelah Malik pergi dari tenda. Nalen berdiri dengan sempurna dan menoyor kepala Windu, "Gak sopan, gue lebih tua."

"Tapi menurut keluarga Jawa, mau siapa yang lahir duluan diantara kita, yang penting bunda gw tetep kakaknya nyokap lo, Lo lah yang seharusnya manggil gue teteh."

"Terserah," ucap Nalen yang keburu sudah kabur dan hanya melambaikan tangan ke udara meninggalkan Windu dengan panci digenggaman.

"Halah sia barokokok!" kesal Windu.

"Mie Soto pake telor ya!" ucap Nalen sempat sempatnya. Kalau jaraknya cukup sih udah Windu lempar pakai panci.

Setelah meninggalkan Windu dengan kepala berasap, Nalen keliling basecamp karena bosan. Sebenarnya banyak orang yang bisa aja ia ajak kenalan, tapi anak itu gak telalu suka bersosialisasi. Lebih suka ngelakuin semuanya sendiri ketimbang harus ramai ramai yang mana akan semakin menguras energinya.

Tapi enggak dengan cewek satu ini.

Anehnya, buat Nalen malah mendekat.

"Mau gue bantu?" Pemuda itu menawarkan bantuan. Pemudi dikuncir satu itu mendongak untuk melihat siapa gerangan yang berdiri di hadapannya. Nalen merogoh kantong celananya dan mengeluarkan kotak kecil berisi serutan pohon pinus dan juga korek api. Lalu berjongkok dan membuatkan satu api unggun untuk seseorang yang tidak ia kenal itu.

Api menyala begitu cepat dari yang pemudi itu duga. Dari matanya, ia terlihat lega dan senang. Segera ia gosok kedua telapak tangannya yang kedinginan dekat perapian.

"Baru pertama kali buat api unggun?" tanyanya. Pemudi itu ngangguk.

"Baru pertama kali buat api unggun, baru pertama kali kemah, dan baru pertama kali naik gunung." jelasnya. Nalen mengangguk paham dan melontarkan pertanyaan lain.

SerenadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang