27

7.3K 1.4K 319
                                    

Mengenyampingkan masalah tentang bunga itu, mereka masih berusaha untuk mencari Karina. Kesana-kemari, menelusuri jalan yang tak ada jejaknya.

Sudah malam, sudah sangat gelap untuk mencari rekannya yang tiba-tiba menghilang itu. Sampai sampai, Haje terjongkok dan menenggelamkan wajahnya. Ia menangis. Tanpa suara.

Yiren perlahan mensejajarkan tubuhnya. Mengelus punggung lebar itu sambil menangis juga. Pemuda berambut gondrong itu menjambak helai rambut hitamnya. Memukul kepalanya terus menerus dengan kuat membuat Yiren kewalahan mengatasinya. Malah yang ada, membuat tangisan pemudi itu semakin kencang terdengar.

"Udah u-dah....jangaan pukul p-pukul." isak Yiren tidak digubris. "Udah H-hasaa..."

Pemuda itu menunjukkan wajah sembabnya. Matanya yang memerah dengan aliran air mata di pipi, ia menatap rerumputan di hadapannya melamun. Dari raut wajahnya yang kusut itu, Yiren mampu merasakan kefrustasian yang ada dalam diri si pemuda. Tersalurkan meski tanpa sepatah kata yang mengatakan ia frustasi, semua itu bisa terlihat hanya dari air mukanya saja.

Ia mengepalkan tangannya, mengedipkan mata lalu berdiri tanpa berniat menghapus jejak air matanya. Tangisan pemudi di kakinya itu perlahan mereda. Ia mendangak, menatap gerak gerik pemuda yang kehilangan asa nya dari bawah.

Haje menarik napasnya. Membenarkan pakaiannya yang berantakan terlebih dahulu dan membuang napasnya kasar. Ia pun siap untuk berbicara.

"Gimana......kalau kita....." ucapnya terbata. Ia menyeka ingusnya, menahan isakannya dan mengatur napasnya, "Coba sekali lagi?"

Orang orang mulai memperhatikannya.

Pemuda yang terkenal pantang menyerah itu kembali melanjutkan kalimat nya, "Gue tau isi kepala kita semua udah mikirin yang enggak enggak." tuturnya tapi lagi-lagi terpotong karena air mata menumpuk di matanya.

Dikarenakan letih tak berdaya berbicara sambil menatap rekannya, ia memejamkan matanya untuk tetap lanjut menyuarakan isi hatinya, "Tapi gue masih mau berusaha untuk bawa kalian semua pulang. Dengan utuh."

"Udah cukup Jia yang jadi korbannya. Jangan ada lagi." Pemuda itu kembali menjambak rambutnya frustasi, "Jangan ada lagi yang hilang, jangan ada lagi yang gak bisa gue selamatin. Jangan ada lagi....."

Mahes mengambil langkah untuk memeluk Haje yang tidak bisa menyembunyikan air matanya. Isakan tangis itu menggeram marah di kuping Mahesa. Menyakitinya secara batin sehingga ia ikut tidak mahir menyembunyikan air matanya.

"Jangan ada lagi, gua mohon...."

Semua orang menatapnya iba. Tidak kuasa menyembunyikan sedih ketika harus kehilangan satu sama lain dan menderita. Seperti yang Haje minta, tolong jangan ada lagi. Meski tidak tau permohonan itu di tujukan pada siapa karena celaka adalah sebuah takdir, dan kehilangan bukan sebuah pilihan.

"Gue masih punya janji yang gak bisa gue ingkarin. Bukan cuma ke kalian aja, tapi juga ke nyokap gue." ucapannya makin terasa berat. Sesak di dadanya semakin menjadi jadi bila mengingat sang ibunda.

Terlebih tentang janjinya memakai kemeja buatan ibunya dan menghadiri makan malam bersama ayahnya. Memperingati 22 tahun pernikahan kedua orang tuanya sekaligus menyambut kepulangan sang ayah dari jam terbangnya. Meski terasa sangat mustahil hadir tepat waktu, atau bahkan hanya untuk hadir, Haje ingin sekali ada di sana dengan kemeja yang ibunya jahit sendiri.

"Honestly, tahun baru ini gue berencana pulang ke Kanada. Untuk temuin bokap after two years....yeah, two years gue gak pulang." cerita Malik dengan sendunya.

"I miss him, so bad. Dia mungkin bakalan kecewa kalau gue gak nemuin dia tahun ini. Dan akan lebih kecewa kalau dia tau, gue disini menyerah untuk ketemu dia." lanjutnya sambil berjalan mendekat kearah pemuda berambut gondrong itu.

SerenadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang