M A T T H E O .
Dia ada disana, ditempat itu, di pertandingan itu. Ia tahu segalanya, semua yang akan terjadi di pertandingan itu. Ia melihat segalanya terjadi dihadapannya, semuanya yang ada disana perlahan hancur, terbakar tanpa sisa.
Ia mengetahui rencananya, namun ia tidak bisa melakukan apapun. Hanya diam dan melihat. Pikirannya ingin membantu, saat ia bergerak mendekat tubuhnya mendadak berhenti. Matanya menatap tajam, hatinya tercekat, ia merutukki kebodohannya sendiri. Memang seharusnya ia tidak menanamkan sedikit pun rasa kemanusiaan dalam dirinya.
Ia berbalik, menjauhinya karena sudah ditolong dan dibawa ketempat yang lebih baik. Ia menemui saudaranya dan kembali ke manor.
Perasaan ingin menolong itu tiba-tiba datang, bukan untuk pertama kalinya, berkali-kali saat ia melihat gadis itu terluka atau disakiti rasa itu tumbuh dalam dirinya. Ia tidak suka jika gadis itu terluka oleh orang lain, gadis itu hanya bisa terluka jika ia yang melakukannya. Gadis itu hanya boleh bersedih saat bersamanya, gadis itu hanya boleh tertawa saat bersamanya. Bukan bersama orang lain, terlebih dia adalah lelaki.
Cemburu? Mungkin perasaan itu yang timbul dalam dirinya. Namun ia tidak menerimanya begitu saja. Kenapa ia cemburu? Bahkan ia tidak memiliki perasaan sedikit pun pada gadis itu.
Ia menertawakan kebodohannya sendiri. Membaringkan tubuhnya diranjang empuk miliknya. Berusaha untuk tidur namun tidak berhasil.
Bayang-bayang aneh mulai terlintas dipikirannya. Ia berpikir bahwa ia akan hidup bahagia bersama dengan gadis itu, disebuah rumah kecil bersama anak-anak mereka. Namun kenyataan kembali disaat ia berada ditengah bayangannya itu. Kenyataan bahwa tidak akan ada satu orang pun yang akan bahagia jika berada didekat dengannya. Kenyataan bahwa dirinya berbahaya.
Tidak akan ada satu orang tua pun yang akan menyetujui putrinya menikah dengan anak seorang penyihir terkejam.
Menyedihkan. Ia menyematkan kata itu dalam hidupnya sedari dulu. Ia tidak salah dalam memilih kata, karena ada kenyataannya itulah yang terjadi. Kebahagiaan mungkin hanya angan-angan yang tidak akan pernah terjadi dalam hidupnya.
Kamar miliknya yang awalnya gelap kini perlahan menjadi terang saat sinar matahari perlahan masuk melalui celah-celah jendela. Sudah berapa hari ini ia memang tidak pernah tidur nyenyak atau bahkan tidak tidur. Pikirannya dipenuhi dengan rencana-rencana yang dibuat oleh ayahnya yang bahkan tidak ada dimuka bumi ini membuatnya ketakutan setengah mati.
Ia menyadari bahwa mulai dari hari ini, tahun-tahunnya di Hogwarts tidak akan pernah setenang tahun sebelumnya. Hal itu sangat membuat dirinya frustasi.
Ia bangkit dari ranjangnya, berlajan menuju kamar mandi dengan langkah gontai. Sungguh kepalanya terasa sangat sakit. Namun ia berusaha untuk menahan dan menyembunyikannya dari semua orang, terutama Narcissa. Ia tidak ingin membuat wanita itu merasa khawatir. Narcissa merawatnya dengan sangat baik, hingga ia merasa memiliki seorang ibu. Itu sebabnya ia sangat tidak suka jika melihat raut wajah khawatir dari Narcissa.
Ia sudah siap rapi dengan koper ditangan sebelahnya, turun menemui yang lainnya. Hari ini ia dan Draco akan berangkat ke Hogwarts untuk tahun ke-empat mereka.
Narcissa memeluk satu persatu putranya, memberikan kecupan dipipi mereka. Mattheo dengan senang hati menerima kecupan itu berbeda dengan Draco.
"Mother aku sudah besar." Ia menghapus bekas ciuman Narcissa dari pipinya.
Narcissa hanya tersenyum menanggapi ucapan putranya itu. "Kalian bersenang-senanglah disana."
Setelah mengatakan itu, mereka berdua berpamitan untuk pergi ke stasiun king cross. Tidak ada Lucius, lelaki itu selalu sibuk dengan urusannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROPINQUITY || Mattheo Riddle [ END ]
FanfictionYou really are the apple of my eye _______________ seluruh cerita milik JK Rowling. kecuali Oc. cerita sedikit berbeda dengan aslinya. Dan Mattheo Riddle adalah karakter ciptaan @yasmineamaro