24

2.1K 287 18
                                    

Ia berdiri ditengah luasnya lahan berumput hijau yang tidak terlalu tinggi, disekitarnya terdapat pepohonan rindang yang mengelilingi lahan kosong tersebut.

Kedua tangannya ia masukkan kedalam saku celananya, memejamkan matanya. Udara dingin menusuk pori-pori kulitnya, ditambah dengan ia yang hanya memakai kaos berlengan pendek. Ia tidak peduli dengan udara ataupun sesuatu yang terjadi disekitarnya bagai seseorang yang telah mati rasa.

Suasana remang-remang ditemani dengan suara jeritan meminta ampun membuat suasana disekitar tempat tersebut semakin mengerikan. Hanya ada cahaya bulan yang menerangi tempat tersebut ditambah dengan sinar mantra tak termaafkan keluar dari tongkat masing-masing pemiliknya.

Ia menulikan indera pendengarannya, membisukan mulutnya, membutakan kedua matanya agar sama sekali tidak bisa merasakan atmosfir mematikan disekitarnya.

Semakin keras ia berusaha, semakin keras pula suara meminta tolong itu terdengar, hingga pada akhirnya ia memilih untuk meninggalkan tempat tersebut. Membiarkan anak buahnya mengurus segala hal yang ada disana.

"Fuck."

Tubuhnya terpental menabrak tembok dibelakangnya, ia memegang kepalanya yang terbentur namun tidak berdarah. Perlahan ia bangkit, tidak perlu mencari tahu ia sudah tau siapa pelakunya.

Ia berjalan mendekati seseorang yang diam dikegelapan tersebut, penampilan berantakan, wajahnya yang nampak penuh luka. Tatapan yang diberikan pasti akan membuat siapapun takut namun tidak dengan dirinya, bagaimana ia bisa takut jika mata itu menurun pada dirinya sendiri?

"Aku hanya meminta permintaan kecil padamu dan kau tidak bisa?!" Pertanyaan menuntut itu sudah biasa ia dapatkan.

"Aku melahirkanmu bukan untuk menjadi pecundang." Ia berteriak didepan wajah anaknya sendiri.

Namun ia juga tidak ingin terlihat semakin lemah, ia berdiri dihadapan ibunya dengan percaya diri dan tegak menatap kedua mata ibunya dengan tajam. Rahangnya mengeras, kedua tangannya terkepal namun ia berusaha untuk menahan pukulannya.

"Sekarang ikut denganku." Tanpa ragu ia segera menarik tangan putranya, membawanya ber-apparate.

Suara retakkan akibat apparate terdengar, sebuah ruangan yang luas nan gelap menyambut kedua indera penglihatannya. Samar-samar ia mendengar suara langkah kaki yang tenang namun waspada, dari beberapa sudut matanya ia dapat melihat cahaya redup.

Baru saja ia ingin memperhatikan lebih jelas, suara ledakkan terdengar. Ia memutar bola matanya malas. Selalu saja memulai tanpa dirinya.

Ia mulai ikut menyerang Harry Potter dan teman-temannya yang lain. Dengan gerakan yang gesit dan lincah ia dapat menyerang tanpa terkena serangan sedikit pun dari lawannya.

Ia mulai membabi buta menyerang sosok manusia yang menurutnya menyusahkan dirinya tersebut dengan pikiran yang tenang karena tidak melihat gadisnya ikut dalam hal ini.

Ia bisa kehilangan kendali jika melihat gadisnya yang keras kepala itu ikut, dan ia harus memilih. Sungguh ia sama sekali tidak suka jika diminta untuk memilih.

Pertarungan mantra itu terus terjadi hingga Sirius Black meninggal akibat ulah ibunya yang menyerang saudaranya sendiri tersebut.

Terkejut? Tentu saja, ia terkejut karena ibunya benar-benar setega itu hingga dengan mudahnya menyerang saudaranya sendiri.

Ia masih mematung jika salah satu death eater tidak menariknya dan membawanya pergi dari sana.

"Mattheo."

Ia menoleh pada sumber suara yang memanggil namanya itu. Napasnya masih tersenggal karena ber-apparate secara tiba-tiba dan sekarang ia dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang jujur saja sangat ia rindukan.

PROPINQUITY || Mattheo Riddle [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang