Revan melangkahkan kakinya di tengah koridor rumah sakit bersama seorang wanita yang tak lain adalah Ibunya. Mereka berdua kini menjadi bahan sorotan dari orang-orang disana terutama staf kerja karena mereka sudah tahu betul siapa dua orang itu.
"udah lama kali, istri Dokter Bima gak ke sini"
"iya, ya. Tapi, anaknya cakep banget!"
"adik gue bilang dia sering lihat anaknya nyanyi di kafe kafe gitu, pakai band. Parah sih, suaranya bagus banget!"
"loh iyakah?"
"nanti deh aku tunjukkin vidionya yang direkam adik aku" kurang lebih begitulah celetuk staf yang bekerja disana.
Sampailah Revan dan Nadia di dalam ruangan Bima. Namun lelaki yang mereka cari tak ada di tempatnya, dan katanya sedang rapat mendadak sebentar, alhasil mereka berdua pun harus menunggu. Revan langsung duduk di sofa besar sedangkan Nadia meletakkan terlebih dahulu bekal yang sudah ia bawa ke atas meja.
Nadia melihat anaknya yang tengah berbaring, "kalau mau tidur buka dulu dong sepatunya" Revan yang merasa diperingati pun langsung melepas sepatunya. Nadia berjalan ke arah Revan dan duduk di sofa sebelahnya.
"kamu mau lanjut kemana, Van?"
Revan bangkit dan membenarkan posisi duduknya, "rencana mau daftar di Harvard atau Stanford, Ma"
Nadia tersenyum lebar, "Mama dukung kamu. Jurusan apa yang kamu mau?"
"Masih dipikirin, Ma" Nadia tampak mengangguk. Lalu mereka berdua kembali berdiam seperti dua orang asing yang tak saling kenal. Tapi, dalam hati mereka, rasa bahagia bermekar. Biarpun belum seutuhnya pulih, namun perlahan keluarga mereka akan kembali utuh.
Revan pun memilih memainkan ponselnya, begitu juga Nadia yang sibuk membaca majalah majalah yang terletak di atas meja. Selang beberapa menit kemudian, munculah Bima dari ambang pintu dengan nafas yang terdengar tak teratur.
"loh, kalian tumben kesini" Revan dan Nadia yang mendengar itu sama-sama mendongak ke arah sumber suara.
Nadia bangkit dan berjalan ke arah suaminya, "Revan yang ngajak, katanya mau bicara sama kamu"
Bima beralih menoleh ke Revan yang sedang memakai sepatunya, "Revan. Kamu mau ngomong apa?"
Setelah selesai memakai sepatu, Revan menatap Bima. "Revan cuman mau nanya, siapa yang ngasih tau Papa tentang keluarga kita?"
"loh, masa kamu gak tau sih. Padahal kan kamu sendiri yang cerita"
"cerita?"
"iya, dia bilang kamu yang cerita ke dia. Terus dia ngasih tau ke Papa"
"dia, cowok?"
Bima terdiam sejenak, "menurut kamu, gimana?"
Revan juga bungkam, memikirkan sesuatu. Dia teringat satu hal, dirinya langsung bangkit dan keluar dari ruangan. Tak lupa sebelum itu dia berpamitan dulu dengan orang tuanya walau hanya sedetik saja.
Hampir sepuluh menit Revan mondar mandir mencari satu ruang rawat, dirinya tak menemukan dimana tempat itu. Dia pun memilih menaiki lift lagi dan pergi ke lantai empat. Di sana, dia juga tak menemukan ruangan itu. Dia memilih untuk turun, namun saat hendak masuk lift, dia melihat seorang wanita yang baru saja keluar dari ruangan. Revan berlari mengejar wanita itu.
Dia menahan tangan sang wanita hingga wanita itu menghentikan langkahnya dan berbalik ke belakang, tatapan mereka bertemu di tengah koridor rumah sakit.
* * *
Malam yang penuh ketenangan, ditemani bintang bintang menyenari langit gelap. Serta bulan yang terlihat bersinar. Dua orang insan itu sedang duduk di atas rooftop, entahlah mereka sama-sama menyukai tempat seperti itu. Mereka sama-sama saling diam sejak sampai disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
RA & RE
Teen FictionMasa lalu memang tidak akan terlupakan, tapi bagaimana jika kita memang tidak ingat apapun tentang masa lalu? Revan, lelaki yang tak pernah berhenti untuk mencari keberadaan Rara, teman kecilnya. Revan tak pernah menganggap kalau Rara sudah tewas s...