11

8.7K 460 90
                                    

Berada di rumah terus-terusan membuat Shelina tersiksa. Setiap dia punya kesempatan untuk melamun, dia jadi teringat Yuni perempuan menyebalkan itu. Suatu malam, dia memberitahu Abizhar bahwa dia sudah siap bekerja di kantor. Abizhar menaikkan satu alisnya.

"Kau yakin? Dokter bilang kau seharusnya beristirahat di rumah, setidaknya sampai semua obatmu habis," kata Abizhar mengingatkan. "Jangan dipaksa. Kantormu juga tidak akan tutup toh selama kau di rumah."

"Aku tidak bisa sembuh jika gelisah terus," jawab Shelina lirih.

"Apakah aku bisa melarangmu, Shelina?"

Shelina menatap Abizhar dengan kaget. Baru disadarinya dia jarang sekali meminta persetujuan dari suaminya. Selama ini dia melakukan apa yang dia sukai tanpa mempertimbangkan apa yang diinginkan suaminya.

Aneh, pikir Shelina. Dulu aku tidak suka dikekang, terlebih diatur oleh suamiku. Mengapa sekarang aku malah merasa lebih aman jika aku mendengar keputusannya? Apakah aku sudah mulai bisa, menggantungkan beberapa aspek dalam hidupku di tangan orang lain?

"Tentu, apa gunanya kau sebagai suami jika tidak bisa memberi pendapat untuk istrimu," jawab Shelina ketus. Dia tidak bermaksud begitu, tapi dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Abizhar jika dia terlihat lemah. Dia kan bisa saja semena-mena, pikir Shelina.

Didengarnya Abizhar mendesis kesal, namun dia tetap menjawab, "Kalau kau hargai omonganku, kau tidak pergi ke kantor. Pastikan dirimu pulih dulu."

"Bi."

"Hm."

"Apakah kau tidak takut tidur satu ranjang denganku? Bagaimana jika aku betul pembunuh?" tanya Shelina pelan. Suaminya tak menjawab, hanya menatapnya dengan sorotan yang tidak bisa Shelina artikan. "Aku sudah menawarkanmu untuk berpisah. Kau bisa pikirkan itu," tambahnya.

"Sejujurnya aku juga tidak tahu apakah bisa istriku membunuh seseorang," sahut Abizhar parau. "Kau menunjukkan hampir setiap hari betapa kau tidak suka pada Yuni. Kau bahkan pernah bilang, lebih baik dia mati daripada hidup sebagai simpanan. Motif yang kau punya untuk mengambil nyawanya sudah ada, tapi..." Abizhar menggeleng. "Sebagian dari diriku berharap itu hanya kecelakaan saja."

"Bagaimana kalau itu benar? Apa yang akan kau lakukan?" desak Shelina. "Abi, kalau aku sampai berada di balik jeruji besi, hidupmu akan terus berlanjut. Kau akan meninggalkanku, dan barangkali... barangkali, kau akan menikah dengan wanita lain."

"Menurutmu mudah bagiku untuk mencintai wanita lain? Menikah dengan wanita lain?" Abizhar balik bertanya. Dia menggeleng. "Aku tidak berpikir untuk melanjutkan hidupku dengan siapa-siapa. Pernikahan ini saja sudah cukup berat bagiku, tapi aku bukan penyerah. Aku akan mendampingimu sampai di titik terakhir. Kalau kau sampai dipenjara, aku akan menunggumu sampai keluar."

"Kenapa?"

"Apakah hanya itu yang kau pikirkan setiap hari? Kau memikirkan bagaimana perasaanku padamu, Shelin? Tidak adakah yang lebih penting untuk kau renungkan?" Abizhar mencoba untuk mengalihkan topik.

"Bagaimana menurutmu? Aku kan lebih banyak di rumah." Shelina tertawa sumir. "Hidupku akan lebih berwarrna jika kau mencintaiku, Abizhar."

"Jangan berharap banyak dariku."

"Apa yang dimiliki perempuan itu sampai kau tidak bisa berhenti mencintainya?"

"Dia tidak cerewet," jawab Abizhar asal saja. Dia memejamkan matanya, berusaha menghindari percakapan dengan istrinya. Ia membuka matanya lagi, melihat istrinya yang masih menatapnya. "Kau tak usah pikirkan lagi soal perempuan lain. Kau cukup pikirkan saja satu orang."

"Siapa?"

"Aku." Abizhar menarik tubuh istrinya untuk masuk ke dalam dekapannya. Dia memeluk istrinya, memberikan kehangatan yang dia bisa. Tak ada gairah birahi malam itu. Dia hanya ingin memberikan rasa nyaman. "Jangan pergi dariku, Shelin. Jika kita harus menderita dalam perkawinan ini sampai kita mati, mari lakukan."

"Kenapa?"

"Kita sama-sama tidak punya pilihan selain bertahan. Pikirmu aku berani menceraikan putri tunggal Pak Edward?" Dia merasakan cubitan halus di pinggangnya. "Kau ini! Kau harus diberi pelajaran!" Diciumnya dahi istrinya, kemudian bibirnya.

Malam itu, Shelina tidak menolak disentuh oleh suaminya. Dia begitu pasrah untuk disentuh dan dikagumi oleh suaminya. Kepasrahan Shelina menimbulkan sesuatu yang menggelitik hati Abizhar.

Mungkin Shelina tidak menyadarinya, tapi sejak hari itu Abizhar merasa jantungnya berdegup kencang setiap melihat istrinya.

**

Tiga bulan kemudian Shelina sudah bisa menjalankan hidupnya secara normal. Setelah dipastikan tak ada cidera yang serius di tubuhnya, dia mendapat persetujuan Abizhar untuk kembali bekerja ke kantor. Dengan syarat, Shelina tidak boleh pulang malam. Kalau harus lembur, bawa saja laptop ke rumah. Di jaman yang modern ini semua bisa dilakukan secara digital.

Shelina senang bisa bekerja kembali. Kantornya dengan kantor suaminya juga masih berada di satu wilayah. Abizhar sesekali mampir ke kantornya pada jam makan siang, mengajaknya makan di kafetaria lobi kantor.

Hubungan mereka mulai membaik, bahkan lebih baik daripada sebelum kecelakaan itu. Shelina tidak percaya dengan kehidupannya sekarang. Apakah mungkin aku justru mendapat kasih sayangnya setelah menyingkirkan kekasih yang dicintainya, pikir Shelina. Aku merasa ada yang janggal.

Hidup mereka tampak baik-baik saja. Shelina sudah tidak mengemudi lagi, jadi Abizhar yang menjemputnya. Saat suaminya sibuk, suaminya meminta sopir untuk memastikan Shelina pulang tepat waktu.

Shelina merasa hidup di awang-awang sampai dia mendapat map cokelat dari orang yang tak dikenal.

*I hope you like the story*

Suamiku Mencintai Wanita Lain #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang