35

6.3K 305 38
                                    

"Kenapa kau setuju dengan pemberian jabatan oleh ayahku?" dumal Shelina saat suaminya mengantarkannya ke kantornya. Shelina masih duduk di jok belakang dengan Abizhar menyetir di kursi depan.

Meski Shelina tidak berada di sebelahnya, dan Abizhar enggan untuk meliriknya lewat kaca spion, dapat dibayangkannya wajah Shelina yang murka. Abizhar tertawa kecil. Reaksi Shelina yang demikian sudah diduganya sejak dia di restoran tadi.

"Yang namanya rejeki, masa ditolak, Sayang?" sahut Abizhar santai.

"Kau tidak menganggap tawaranku serius. Kau tidak menginginkan pernikahan ini berjalan sebagaimana mestinya," lanjut Shelina mengomel. "Tapi percuma juga, kan, aku marah padamu. Kau tidak akan pernah mendengarku!"

"Shelina, jangan berpikir yang tidak-tidak. Tentu aku mau memiliki rumah tangga yang utuh bersamamu, tapi kau juga tidak bisa gegabah dengan keinginanmu. Kau pikir, semua yang kita miliki ini asalnya dari mana? Datang begitu saja? Kau sadar kan bahwa ada pengaruh ayahmu di balik kemewahan yang mengitari kita? Atau kau..." Abizhar diam sejenak. "Kau siap hidup miskin denganku?"

"Miskin? Kau gila?!" bentak Shelina marah. "Tidak, aku tidak mau miskin dan aku tidak mau kehilangan apa yang kita punya sekarang, tapi jika kita terus-terusan diberi oleh orangtua kita, kita akan selamanya diatur oleh mereka. Aku ingin, kita pelan-pelan keluar dari jeratan kekuasaan mereka, dan punya kehidupan di mana kita tidak bergantung pada mereka. Kau paham, kan?"

"Kehidupan di mana, Shelin?" dengus Abizhar. "Kita tidak mungkin lepas dari orangtua kita, orang dari awal kita disuapi oleh mereka, kok."

"Terserah, tapi aku akan marah sekali jika di antara kita ada yang menjadi Dirut di perusahaan semen ayahku," kata Shelina kesal.

"Sekali pun begitu, pikirmu pernikahan kita akan adem-ayem saja?"

"Apa maksudmu?"

"Kau juga bukan pihak yang suci, Shelina. Sampai hari ini kita tidak tahu apa yang terjadi padamu dan Yuni, dan juga apa yang telah kau lakukan dengan suami sepupumu," kata Abizhar dingin.

Mata Shelina membeliak. Dia tidak percaya bahwa suaminya akan mengangkat dua topik sensitif itu di saat mereka membicarakan soal keinginan Shelina tentang rumah tangga mereka.

Shelina marah, dari belakang dia mencengkram bahu Abizhar. Kaget, Abizhar tak sengaja menginjak rem, membuat mobil berhenti mendadak dan hampir saja mereka mengalami kecelakaan jika mobil di belakang Abizhar tidak ikut berhenti sekejap.

"Shelina!" bentak Abizhar menegur.

Di saat itu Shelina merasa pusing. Sekonyong-konyong suatu obrolan masuk ke pikirannya.

"Abizhar tidak pantas menderita karenamu, dia terlalu baik untuk menjadi kacung penzina sepertimu!"

"Dari mana kau tahu aku berselingkuh?"

"Menurutmu, dari mana? Dari asistenmulah! Aku tahu kau suka memesan hotel untuk bertemu suami orang!"

"Lalu kau mau apa?"

"Aku ingin Abizhar lepas darimu, meski aku tidak mencintainya lagi dan siap melanjutkan hidup dengan Roland, aku tetap tidak mau sahabatku terjebak dengan wanita iblis macam kau!"

"Hidup dengan Roland? Kau?" Shelina tertawa kencang. "Hah! Setelah kau poroti Abizhar, kau mengkhianatinya juga! Asal kau tahu, kau tidak akan ke mana-mana dengan Roland. Dia tidak bisa hidup tanpaku! Akulah yang membiayai hidupnya sejak kuliah dulu!"

"Aku tidak miskin, Shelina. Belakangan aku tahu bahwa aku sebenarnya anak..."

Berhenti.

Shelina tidak bisa mengingat apa-apa lagi. Dia juga tidak yakin apa yang dilihatnya barusan terjadi betul atau tidak, namun hal itu terasa nyata baginya. Dia merasa merinding. Rasa takut dihantui oleh masa lalu menghampirinya lagi.

Apakah aku sengaja menyingkirkannya, pikir Shelina dengan tubuhnya yang bergetar. Apakah kebencianku padanya terlalu besar hingga aku nekat untuk mencelakainya padahal saat itu aku sedang hamil besar?

"Shelina! Kau dengar aku tidak?" tegur Abizhar lagi. Dia kembali mengemudikan mobilnya. Tak kunjung mendapat jawaban dari istrinya, dia bertanya dengan lembut, "Shelin? Kau tidak apa-apa?"

Istrinya tidak menyahut, dan Abizhar mengecek keadaannya setiap dia bisa menoleh ke belakang. Istrinya diam saja, seakan terbuai dengan lamunannya. Ketika tiba di depan lobi kantor Shelina, Abizhar turun dan membukakan pintu mobil untuk Shelina.

Wajah Shelina berubah pucat pasi. Abizhar refleks mengucap maaf. "Aku tidak bermaksud marah padamu. Tadi aku tidak sengaja mengerem. Maafkan aku."

Shelina menahan lengan suaminya. "Kau. Kau antarkan aku pulang saja," kata Shelina terlihat gugup. "Aku... Aku tidak bisa bekerja. Pikiranku kacau."

Sesaat Abizhar memandang istrinya secara seksama. Apa yang terjadi pada kau, pikir Abizhar bingung. Sikapmu bisa berubah-ubah seperti ini. Kecelakaan itu pasti begitu hebat membentur kepalamu.

Abizhar mengangguk. Dia juga tidak kembali ke kantornya. Sesampainya di rumah, dia memposisikan dirinya untuk selalu berdekatan dengan istrinya. Diawasinya istrinya, takut-takut terjadi sesuatu lagi.

"Kau balik ngantor saja," saran Shelina saat dilihatnya Abizhar melepaskan pakaiannya. "Aku tidak mau membuatmu repot."

Abizhar menyipitkan kedua matanya. "Kau? Tidak ingin membuatku repot?" Abizhar tersenyum, namun tidak sinis. "Kau istriku. Aku harus memastikan kau baik-baik saja."

"Aku wanita yang paling bahagia jika kau tetap memikirkan aku seperti ini," kata Shelina ikut tersenyum. Senyumnya terlihat masam. Dia jelas belum sehat.

"Aku ingin mandi," kata Abizhar kemudian. "Kau ingin ikut?"

Shelina ingin menjawab iya, tetapi dia tidak bisa melakukannya dengan kegelisahannya. Dipikirnya, Abizhar akan terima saja dengan penolakannya, namun di detik lain Abizhar memeluknya.

Shelina terkesiap.


*Semoga kalian suka cerita ini*

Suamiku Mencintai Wanita Lain #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang