21

5.3K 366 65
                                    

Diletakkannya ponselnya di atas mejanya dengan gemas. Abizhar tidak bisa tenang sejak Roland memberitahunya Shelina pergi ke suatu tempat tanpa memberitahu ke mana secara detail. Abizhar jadi bingung sendiri, mengapa dia tiba-tiba seperti ini? Dia jadi mudah marah, tersinggung, khawatir, dan yang jelas semua perasaan ini membuatnya tidak nyaman!

Pergi berselingkuh lagikah dia, pikir Abizhar gemas. Tidak kapok-kapokkah dia? Tuhan sudah menghukumnya dengan kecelakaan itu. Kenapa dia masih melakukan kesalahan memalukan seperti ini?

Abizhar mengambil lagi ponselnya, menghubungi Gadis dan menanyakan keberadaan suami sepupu Shelina itu. Suara Gadis terdengar heran. "Dia bersamaku sekarang. Kau ingin bicara?"

"Tidak, ngg, terima kasih, maaf ganggu." Klik Abizhar memutus sambungan. Kalau tidak bersama Rafi, bersama siapa Shelina sekarang, pikirnya. Bersama pria lainkah? Ada berapa banyak pria yang menikmati tubuh Shelina?

Kurang ajar! Kepala Abizhar terasa panas seakan ada air yang mendidih di dalamnya. Dia tidak terima jika Shelina main di belakangnya sementara Abizhar sedang sakit pinggang lantaran kebanyakan bekerja! Sialan! Meski aku tidak setia, aku tidak mau istriku berkhianat. Itu hanya menambah penyakit saja!

Abizhar melirik jam dinding kantornya. Jarum menunjuk angka sebelas. Dia mengecek laporan dari karyawannya, dan setelah dirasa urusan sudah beres dan bisa dilanjutkan besok, dia keluar meninggalkan ruang kerjanya.

Kantornya masih ramai. Hari ini karyawan-karyawannya lembur. Sudah banyak yang bersiap untuk pulang. Abizhar mencoba memberi semangat, bicara-bicara sebentar dengan salah satu manajernya terkait suatu proyek, kemudian kembali sendiri berjalan ke mobilnya.

Kehampaan itu menghampirinya. Dia mencoba menghubungi Shelina, tidak diangkat. Diteleponnya sopir, namun sopir itu hanya mengatakan dia sedang menunggu Bu Shelina di parkiran hotel. Abizhar ingin menyusul Shelina ke hotel itu. Ah, tidak, tidak, pikir Abizhar. Biar saja nanti aku marahi di rumah. Namaku bisa tercoreng jika membuat keributan di tempat umum!

Ketika mobilnya masuk ke garasi rumah, bersamaan dengan itu mobil Shelina ada di belakangnya. Abizhar turun dari mobil, melihat ke arah Shelina yang berjalan menghampirinya. Wajah Shelina terlihat tidak senang.

"Dari mana kau?" tegur Abizhar dingin. Keduanya melangkah ke arah kamar mereka. "Kenapa tidak kau beritahu Roland soal tempat yang kau datangi? Aku harus sampai menanyakan sopirmu!"

"Aku tidak mau bicara apa-apa. Mood-ku jelek sekali hari ini," sahut Shelina tanpa menyembunyikan kekesalannya. "Tahukah kau? Ah, sudahlah. Mengingat hubunganmu dengan Mama Lila tidak dekat, tidak mungkin kau tahu!"

"Apa maksudmu, Shelin?"

Shelina tidak menjawab sampai mereka di kamar. "Ibumu memintaku untuk menjadi pengurus Yayasan Panti Asuhan itu! Tadi aku bertemu dengannya di restoran hotel. Tidak hanya ibumu saja, tapi dengan pengurus-pengurus lainnya." Shelina mendengus. "Pikirmu, aku punya waktu untuk mengurus yayasan? Menjadi donatur, oke. Terlibat langsung dengan yayasan itu?! Hell no!"

"Jadi tadi kau bertemu Mama?" Abizhar menghela napas panjang. "Aku tidak tahu Mama sudah ada di Jakarta."

"Hanya sebentar, besok pagi berangkat lagi ke Penang," jelas Shelina sambil melepaskan pakaiannya. "Mama hanya ingin memberitahuku soal Panti itu. Dengar, Abizhar." Shelina mengambil handuk, berjalan ke kamar mandi, namun sebelumnya dia menoleh ke suaminya. "Aku tidak mau direpotkan dengan urusan yayasanmu. Apalagi, mereka tampaknya ingin kembali hidup di atas tanahku!"

Shelina membutuhkan ketenangan di bawah pancuran air. Dengan air yang membasahi seluruh tubuhnya, dia mulai menangis. Ini bukan pernikahan yang kuharapkan, pikirnya. Napasku sesak setiap terlibat dengan urusan Abizhar. Ya aku memang mencintainya, tapi aku tidak bahagia!

Tadi Mama Lila mengundangnya makan di restoran mewah di hotel. Shelina pikir, ibu Abizhar ingin bersilaturahmi dengannya, membuat hubungan keduanya lebih akrab. Betapa naifnya Shelina mengingat pernikahannya dengan Abizhar hanya soal kontrak bisnis! Tidak ada cipika-cipiki layaknya ibu mertua dan menantu yang dekat. Tidak ada basa-basi. Di restoran itu, tidak hanya ada ibu Abizhar, tapi juga pengurus-pengurus yang lain.

Ibu Abizhar secara terang menginginkan Shelina menggantikan Yuni. Ibu Abizhar menambahkan, tak perlu sesibuk Yuni, tapi setidaknya Shelina hadir seminggu dua kali di Panti itu. Ibu Abizhar ingin, ada anak atau menantunya yang aktif di sana.

Bukan hanya itu. Salah satu pengurus berceletuk, apakah Shelina bisa memindahkan mereka dari lokasi Panti yang sekarang, ke lokasi yang dulu, yaitu di atas tanah yang diinginkan Abizhar. Tepat pada saat itu, Shelina merasa, mereka tidak membutuhkannya, melainkan apa yang dimilikinya. Shelina merasa orang-orang itu tak lebih dari sekumpulan orang yang materialistis!

Sudah cukup dia sakit hati karena ibu mertuanya membandingkannya dengan Yuni yang apik, yang rajin, yang ini dan yang itu. Tidak usah mereka menambah luka di hatinya dengan menunjukkan bahwa arti Shelina di mata mereka hanyalah sebidang tanah!

Ya Shelina bisa memberikan hak pada Abizhar untuk melakukan apa saja dengan tanah itu, dengan menjadikan perusahaan Abizhar investor untuk proyek di sana. Tapi untuk merobohkan bangunan di sana kemudian hanya menjadikannya sebuah Panti Asuhan? Tidak mungkin! Lagipula, apa salahnya dengan lokasi yang sekarang?!

Selepas mandi, Shelina melilitkan handuk di tubuhnya. Langkahnya terhenti ketika dari kamar mandi dia mendengar Abizhar marah-marah.

"Kenapa Mama lancang sekali mengundang istri Abizhar tanpa izin dari Abizhar?.... Tidak, tidak. Mama memang ibu yang membesarkan Abizhar, karena itu, seharusnya Mama menghargai Abi juga dong!... Shelina istri Abi, kalau Mama ingin melakukan sesuatu dengannya, Mama diskusikan dulu dengan Abizhar!"

Suamiku Mencintai Wanita Lain #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang