36

5K 308 30
                                    

Shelina ingin menjawab iya, tetapi kepalanya menggeleng. Dia tidak bisa berbuat apa-apa dengan kegelisahan yang dimilikinya. Dipikirnya, Abizhar akan terima saja dengan gelengannya, namun di detik lain Abizhar memeluknya.

"Jangan terlalu stres. Kau tahu apa yang bisa meredakan stres? Seks, jadi jangan tolak aku." Abizhar mengedipkan satu matanya.

Shelina pun tidak mengerti ketika Abizhar menyentuhnya, dia justru merasa merinding. Takut, tiba-tiba bayangan itu menghantuinya. Bayangannya dicicipi oleh laki-laki lain.

Dia.. telah berselingkuh?

Abizhar tidak begitu saja melepaskannya. Ditatapnya Shelina lekat-lekat, seakan ingin mencari tahu apa yang ada di kepala Shelina saat itu. "Kau tidak mungkin menolakku, Shelina. Aku suamimu. Apa kau lupa?!"

"Kau tidak bisa memaksa jika aku tidak mau, Abi," jawab Shelina membela diri.

"Setidaknya berikan satu alasan mengapa kau bersikap aneh begini. Apa kau..." Rahang Abizhar mengeras. "Apa kau membandingkan aku dengan Rafi? Kalian betul selingkuh?"

"Tidak!" bantah Shelina keras. "Aku... Aku tidak tahu apakah aku selingkuh dengannya atau tidak, tapi aku jelas tidak melakukan perbandingan terhadap kau dengan pria mana pun."

"Ya lantas mengapa?"

"Aku tidak tahu!" bentak Shelina putus asa.

Birahi yang tadi membara dalam tubuh Abizhar kini sirna entah ke mana. Dia kesal, marah, dan kecewa sebab lagi-lagi istrinya tidak mau melakukan seks dengannya, namun di sisi lain dia merasa kasihan.

Dia tidak tahu apa yang dirasakan dan dialami Shelina. Istrinya tampak ketakutan, wajahnya pucat pasi, dan tubuhnya gemetar. Abizhar ingin memarahinya sekali lagi, namun hati Abizhar tidak tega.

Tidak tahu apa yang harus dilakukannya, Abizhar mendengus kemudian berlalu ke kamar mandi. Shelina menarik napas lega saat pria itu tak lagi berada di dekatnya. Shelina mengganti pakaiannya dengan piyama. Dia berencana untuk tidur seharian sampai dia bisa melupakan bayangan-bayangan yang tak ada hentinya menghampiri benaknya.

Semakin dia berusaha menghindar, semakin kuat pula cuplikan-cuplikan yang masuk ke pikirannya.

"Aku ingin kau memuaskan aku seperti Abizhar pada Yuni."

"Rafi... Rafi... Kita dua orang yang sangat berdosa..."

Gambaran dirinya yang dicumbu oleh Rafi kini terlihat jelas. Shelina yakin bahwa hal itu benar terjadi. Aku telah mengkhianati Abizhar, pikirnya sambil menggenggam selimutnya erat. Aku merusak rumah tangga sepupuku. Ya Tuhan. Itukah sebabnya aku mencelakai Yuni? Karena entah dari mana dia tahu aku berzina dengan pria lain?

Tidak, tidak mungkin. Apa alasanku melakukan hal sekotor itu? Apakah karena Abizhar selalu menyakitiku dengan mencintai wanita lain? Hanya karena itu? Shelina, mengapa kau tak bisa ingat semuanya?

Apakah aku yang menolak untuk ingat karena hal itu begitu menjijikkan dan tak layak untuk dikenang?

Shelina tidak bisa bermuram durja di kamarnya. Dia menelepon Roland, membawa persoalan kantor ke rumahnya. Dengan begitu dia bisa bertemu Roland dan.. persetan apa yang akan dilakukannya dengan Roland. Dia yakin, Roland tahu sesuatu soal kecelakaan itu, setidaknya soal Yuni.

Abizhar menaikkan satu alisnya saat satu jam kemudian Roland datang ke rumah dengan laptop dan berkas pekerjaan. Segera ditegurnya Shelina, mengapa dia masih ingin bekerja di saat tidak sehat begini.

"Aku makin pusing jika bengong saja," jawab Shelina sekenanya. Diajaknya Roland untuk berdiskusi di ruang makan rumahnya. "Kau ke kantor saja. Aku tidak apa-apa. Toh ada Roland yang bisa jaga."

"Aku percaya padanya, tapi meninggalkanmu dengan asistenmu di rumah rasanya tidak etis."

Shelina menyipitkan kedua matanya. "Well, aku sering bersama dengan Roland, tapi sepertinya ini pertama kali kau menaruh curiga?"

"Dia tetaplah laki-laki, Shelin," kilah Abizhar menyembunyikan kecemburuannya. "Aku akan bekerja dari rumah sepertimu." Dia menoleh pada Roland yang sedari tadi berdiri mematung di dekat mereka. "Kalian bekerja seperti biasa, jangan hiraukan saya."

Siapa juga yang mau menghiraukanmu, keluh Shelina. Dia dan Roland berjalan ke ruang makan. Di sana mereka mendiskusikan beberapa hal, terutama soal proses proyek-proyek yang kini berjalan. Shelina meminta Roland untuk segera memberikan laporan padanya jika ada kendala di lokasi proyek.

Hal lainnya berkaitan dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar semua vendor perusahaannya. Shelina orang yang teliti, dia pertanyakan satu per satu pada Roland terkait biaya itu, mengapa ada biaya tambahan, dan mengapa barang-barang yang dikirim vendor tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya sehingga terdapat perubahan biaya.

Sampailah mereka membicarakan proyek di Kebon Kacang. Shelina dapat melihat permukaan wajah Roland yang murung. Kenapa kau, pikir Shelina tak urung sinis. Apakah kau sama dengan Abizhar? Sama-sama mengingat Yuni setiap membahas tanah sialan ini?

"Kau tahu, Roland, ibu mertuaku yang menjegal investor untuk mendanai pembangunan apartemen di sini," kata Shelina, mendengus. "Untungnya Pak Edward bisa menolong. Investor itu tidak jadi membatalkan perjanjian untuk membiayai proyek ini."

"Mengapa ibu Pak Abizhar seperti itu, Bu?" tanya Roland sekenanya.

Shelina mengangkat bahu. "I don't know. Menurutmu, apakah ibu suami saya punya hubungan dengan Yuni?"

Roland terbatuk seakan tersedak, padahal saat itu dia tidak sedang menelan apa-apa. Dia meminum air di dekatnya. "Mana saya tahu, Bu? Saya tidak kenal keduanya."

Berkilah saja terus, gerutu Shelina. Dia menatap tajam Roland. "Jawab jujur. Bagaimana dengan kau? Kau dan Yuni punya persoalan seperti Abizhar dengannya, kah?"


*I hope you like the story*

Kira-kira Roland ini baik atau tidak ya?

Suamiku Mencintai Wanita Lain #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang