51

8K 416 24
                                    

"Apakah hanya itu yang kau pikirkan setiap hari? Kau memikirkan bagaimana perasaanku padamu, Shelin? Tidak adakah yang lebih penting untuk kau renungkan?"

"Bagaimana menurutmu? Aku kan lebih banyak di rumah. Hidupku akan lebih berwarrna jika kau mencintaiku, Abizhar."

"Jangan berharap banyak dariku."

"Apa yang dimiliki perempuan itu sampai kau tidak bisa berhenti mencintainya?"

Jika kau bertanya lagi hal yang sama aku akan jawab tidak ada, Shelina, pikir Abizhar sambil mengemudikan mobilnya ke Panti. Ya Tuhan, semoga sepulangnya dari Panti, aku masih diberi kesempatan untuk bertemu Shelina lagi. Semoga dia tidak menutup pintu rumahnya rapat-rapat.

Bayangan Shelina menangis tak bisa pergi dari pikirannya. Mengapa aku terlambat mencintaimu, Shelina, keluh Abizhar. Baru kusadari betapa aku mencintaimu setelah sekian lama aku bersamamu. Dadaku nyeri ketika melihatmu menangis dan lemah seperti tadi.

Di sisi lain Abizhar tidak bisa mengesampingkan Yuni. Dia harus melihat keadaan perempuan itu dengan mata kepalanya sendiri. Dia dan Yuni sudah lama berteman dan Yuni harus mengalami kejadian buruk karenanya. Tidak mungkin Abizhar bersikap dingin pada orang yang telah peduli padanya jauh sebelum dia mengenal Shelina.

**

Roland hendak melepaskan genggaman tangannya pada tangan Yuni, namun perempuan itu menahannya. Yuni menggeleng. "Aku sudah berjanji padamu untuk pergi bersamamu, Roland. Tidak mungkin sekarang aku berpaling darimu."

Perlahan Roland menarik tangannya. Dia menghela napas frustrasi. "Apa kau lupa, Yuni? Alasanmu ingin bersamaku karena kau tahu Abizhar tidak mungkin lepas dari Shelina," jawabnya lirih. "Kini Shelina siap merelakan suaminya untukmu. Kau dan Abizhar punya kesempatan untuk bersama."

"Tapi semua ini terasa salah," sahut Yuni terlihat bingung. "Aku lebih tenang denganmu, Roland."

"Sama. Aku juga merasa salah jika aku mempertahankanmu. Setelah apa yang kita lakukan terhadap Shelina, aku tidak yakin aku bisa bersenang-senang sementara dia harus terluka."

"Kau peduli padanya?"

Roland mengangguk. "Dia sahabatku, sama seperti Abizhar bagimu. Aku harus memperoleh maafnya lebih dulu sebelum bisa berbahagia."

"Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang, Roland? Apakah perpisahan ada di depan mata kita, Roland?"

Sekali lagi Roland mengangguk. "Maafkan aku, ya? Tapi aku rasa, kau akan lebih bahagia berssama Abizhar. Kalian sudah saling mencintai sejak dulu, dan aku mengerti aku hanya pelarianmu saja."

"Roland.."

Roland tak bisa ditawar lagi. Dia bergegas meninggalkan kamar Yuni dengan air mata yang disembunyikannya.

Satu jam setelah kepergian Roland, Bu Lila datang ke Panti dan segera ke kamar tempat Yuni dirawat. Bu Lila menghela napas lega dan mengucap syukur melihat Yuni yang memandang ke arahnya. Dipeluknya Yuni hati-hati.

"Anakku! Kau masih hidup!" Bu Lila mengecup kening Yuni bertubi-tubi. "Bagaimana keadaanmu sekarang? Kau senang kan bisa bertemu Mama? Oh, Yuni, Mama bahagia sekali kau masih hidup! Dengan perawatan yang lebih baik, kau pasti akan sembuh total!"

Yuni mengangguk sekenanya. "Badanku masih tidak bisa digerakkan."

Bu Lila mengangguk mengerti. "It's okay, kau akan kembali normal. Oh, Yuni. Mama tidak bisa mendeskripsikan rasa bahagia yang ada di hati Mama. Kau hidup!"

"Di mana Abizhar?"

"Oh ya.. ya..." Bu Lila mengeluarkan ponselnya dari tasnya dan menelepon Abizhar. Diberitahunya bahwa Yuni telah kembali di Panti. "Segera datanglah, Abizhar!" Kemudian ditutupnya sambungan telepon. Perhatian Bu Lila kembali pada Yuni. "Kau pasti merindukan Abizhar. Kau tidak usah khawatir. Mama akan memastikan dia menceraikan Shelina dan kembali padamu. Kau percaya, kan?" Yuni diam saja. Bu Lila melanjutkan, "Selama ini Mama tidak bisa tidur, memikirkan kau terus. Tadinya Mama pikir kau telah meninggal. Tahukah kau, kau sempat dinyatakan mati, dan entah bagaimana caranya kau dibawa ke sini, kemudian dibawa pergi entah oleh siapa. Mama yakin sekali Shelina yang melakukannya. Dia pasti punya rencana buruk untukmu." Bu Lila menatap Yuni dengan tatapan senang di matanya. "Kau tak usah khawatir. Mama takkan biarkan siapa pun membawamu pergi dari Mama lagi. Setelah ini Mama akan cari rumah sakit terbaik untuk memberi pengobatan terbaik dan kau bisa jalan seperti dulu."

Bu Lila terus bicara tanpa henti. Yuni bersikap seolah mendengarkan, namun pikirannya tidak ada di sana. Benaknya tertuju pada Roland. Bagaimana perasaan Roland sekarang, pikirnya. Apakah dia tidak pernah kembali? Mengapa dia selemah itu? Dia sudah menyelamatkan aku, mengapa dia mau saja aku balik dengan Abizhar?

Lamunan Yuni buyar saat dia mendengar seseorang memanggil namanya. Dia menoleh pada Abizhar yang berdiri di pintu.

"Yuni, kau..." Abizhar berjalan ke arahnya. "Kau masih hidup."

Untuk beberapa waktu mereka tidak saling bicara. Hanya mata mereka yang saling bertaut sampai akhirnya Yuni memecah keheningan, "Ada yang ingin kukatakan padamu." Yuni menoleh pada Bu Lila. "Berdua saja. Boleh, kan?"

Bu Lila mengangguk cepat. "Katakan saja semua yang kau mau. Jangan sungkan, ya!" Bu Lila kemudian berlalu dari hadapan mereka.

Abizhar melangkah lagi mendekati Yuni. Dia duduk di kursi samping tempat tidur. "Rasanya sulit dipercaya kau masih ada di sini."

"Abi."

"Apa, Yuni?"

"Aku tidak akan berada di sini jika Roland tidak membawaku keluar dari makam," kata Yuni dengan mata nanar. "Aku tidak akan bisa bangun dan kembali bicara jika Shelina tidak membawaku ke RS terbaik."

"Roland? Shelina? Jadi mereka terlibat dalam hilangnya kau?!" Mendidih darah Abizhar mendengarnya. Sudah dia duga Shelina tidak sepolos itu. Seharusnya Abizhar tidak percaya padanya saat Shelina memberitahunya tidak tahu apa-apa soal jasad Yuni yang hilang! "Yuni, aku bersumpah aku akan memberi perhitungan pada mereka!"


*semoga kalian suka cerita ini*

Suamiku Mencintai Wanita Lain #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang