20

8.4K 345 63
                                    

"Bi, menjadi donatur bukan hal yang buruk, kan?" tanya Shelina memerlukan kepastian dari Abizhar.

"Tentu tidak! Kau kan sudah besar, sudah tahu mana yang baik dan tidak. Menurutmu, membantu anak-anak yang membutuhkan, itu bukan hal baik?!" Abizhar balik bertanya. "Shelina, kalau kau mau beri, berilah. Berilah selama kau punya sesuatu untuk diberi."

"Jawab pertanyaanku. Apakah kau lebih menyukai Yuni karena dia mau direpotkan mengurus yayasanmu?"

"Aku tidak mau membahasnya. Ini sudah malam, dan dia juga sudah tidak ada," jawab Abizhar mengelak.

"Kenapa tidak kau jawab saja? Mau sampai kapan kau lari dari kenyataan?"

Mata Abizhar membesar dituding begitu. "Oke aku jawab. Ya, aku suka padanya karena dia memiliki hati yang baik. Kau dengar? Dia punya hati yang baik. B-A-I-K. Dia mau mengerahkan segala tenaga dan pikirannya untuk membantu anak yatim-piatu," katanya tegas.

"Untuk bagian membantu anak yatim-piatu aku setuju, tapi untuk bagian lainnya?" Shelina berdecak jengkel. "Dia sudah menjadi duri untuk perkawinan kita. Kau juga selalu mengutamakannya daripada aku. Perempuan baikkah itu, membiarkan rumah tangga orang rusak karenanya?"

"Terserah apa yang kau katakan. Asal kau tahu, Yuni tidak semurah itu," sahut Abizhar tersinggung. "Dia tidak pernah menggodaku. Akulah yang selalu datang padanya. Aku yang membutuhkan kasih sayang darinya."

"Kau begitu menjijikkan."

"Ya, inilah laki-laki yang kau pilih sebagai suamimu. Aku menjijikkan. Apa lagi yang bisa kau katakan tentangku?"

Untuk menghindari pertengkaran Shelina memilih untuk menggeleng. Abizhar benar. Ini sudah malam dan sebaiknya mereka beristirahat. Besok jadwal Shelina penuh dari pagi sampai malam.

"Aku tidak mau kita terus-terusan berantem, Shelina," kata Abizhar, menghela napas berat. "Lagi banyak tender yang harus dimenangkan. Aku tidak mau kehidupan pribadi kita mempengaruhi kinerjaku."

"Maaf," sahut Shelina pelan.

"Kau bilang apa?"

"Maaf!" jawab Shelina lebih keras. "Kenapa? Kau tidak senang aku bisa ngomong maaf?!"

"Aku hanya tidak terbiasa," sahut Abizhar terus terang. "Kembalilah ke kamar. Aku mau minta Bibi untuk masak. Aku lapar sekali."

"Aku tidak bisa masak."

"I know," jawab Abizhar tersenyum letih. "Maka itu kau tidur saja. Good night." Tahu-tahu bibir Abizhar mengecup bibir istrinya. Dia sendiri pun kaget mengapa dia melakukan itu.

Sukakah aku padanya, pikir Abizhar. Tidak, tidak. Aku tidak akan jatuh cinta pada perempuan yang hanya memandangku barang!

**

Rapat, rapat, rapat lagi!

Shelina tidak sempat bernapas lega selama dia di kantor. Dia terus-terusan berdiskusi dengan klien dan vendor. Dia cukup bersyukur, dengan pikirannya yang sibuk dengan pekerjaan, dia tidak pusing karena ingatannya yang hilang.

Ketika dia punya waktu untuk beristirahat, dia menyadari sudah pukul empat sore. Aku melewati makan siang, pikirnya. Segera diceknya ponselnya. Abizhar meneleponnya jam dua belas tadi. Diberitahukannya dia cukup sibuk hari itu melalui pesan singkat.

Abizhar meneleponnya tak lama setelah dia mengirim pesan. "Iya, tadi Roland memberitahu jadwalmu cukup padat. Kau lekas makan, ya?"

Berdesir hati Shelina mendapat perhatian semacam itu. Terserahlah ini pura-pura atau tidak, pikir Shelina. Mungkin bukan pura-pura, tapi Abizhar berada dalam fase menerima bahwa Yuni sudah tidak ada lagi di dunia ini.

"Kau bagaimana? Sudah makan?"

"Tak usah kau khawatirkan aku. Aku sudah makan," jawab Abizhar. "Sudah dulu, ya."

Shelina kembali ke urusan pekerjaannya. Dia mendapat berita buruk mengenai proyek yang tengah berjalan di atas tanah di Kebon Kacang. Roland memberitahunya, salah satu investor yang menyokong pembangunannya, ingin membatalkan perjanjian kerjasama mereka.

Sontak Shelina kaget. Selama ini hubungannya dengan investor tersebut baik-baik saja. Dia meminta Roland untuk menanyakan apa alasannya.

"Pihak investor mengatakan, mereka tidak mau membangun apartemen di atas tanah yang pernah bersengketa."

"Bersengketa apa!" dengus Shelina marah. "Tanah itu memang tanah orangtua saya. Yayasan Panti Asuhan itu menggunakan lahan itu secara ilegal."

Ini tidak bisa dibiarkan, pikir Shelina. Jika investor itu menyebarkan berita yang tidak-tidak, bisa-bisa investor yang lain ikut berhenti memberi modal.

"Siapkan meeting dengan mereka. Biar saya sendiri yang bernegosiasi," kata Shelina memberi keputusan.

"Tapi, Bu..."

"Roland." Shelina menyipitkan kedua matanya. "Kau tidak berkhianat, kan?"

"Ma..maksud Ibu?" tanya Roland terbata.

Shelina menghela napas jengkel. "Sejak kecelakaan itu saya tidak bisa percaya pada siapa-siapa. Bahkan, sebelum kecelakaan itu, saya bukan orang yang mudah percaya," sahut Shelina dingin. "Saya harap kau profesional dan masih mementingkan perusahaan ini."

"Ba..baik, Bu. Akan saya adakan rapat antara Ibu dengan perwakilan investor. Ada lagi, Bu?"

"Itu saja dulu. Oh ya, suruh sopir stand by di depan jam tujuh nanti. Saya ada acara pertemuan."

Roland mengangguk, lalu setelah tidak ada perintah lagi dari Shelina, dia undur diri dari ruangan bosnya. Shelina memandang kepergiannya dengan rasa curiga yang menghantuinya.

Shelina menelepon Leo, memintanya untuk melakukan sesuatu lagi untuknya.

Suamiku Mencintai Wanita Lain #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang