Dorothea merasa tidak seharusnya berada di sini.
Anak-anak kelas 1-A berdiri di dekat bus yang akan mereka tumpangi menuju ke kamp pelatihan.
Bus yang akan Dorothea tumpangi juga.
"Ah, hari liburku yang berharga..."
Gadis itu mendesah sementara Eins terkikik. Tangan pucat 'merangkul' sang gadis selagi mereka berjalan—melayang, untuk Eins—mendekat ke gerombolan anak yang menunggu keberangkatam.
"Pilihannya ini atau ditangkap oleh sekte gila, Dorothea." Eins mengingatkan. "Sepertinya kau tidak boleh mengeluh."
Si gadis langsung mengeluh cepat dibalik napasnya. Hanya untuk membuat si hantu kesal.
Namun roh rambut putih itu hanya meringis dan 'mengelus' kepalanya. Dorothea mau tidak mau ikut melempar senyum lemah juga.
Dia tahu ide ini masuk akal. Dengan pergi ke kamp pelatihan, setidaknya Kuba dan Seren tidak akan bisa menemukannya selama beberapa hari. Dia akan aman dan tersembunyi. Sementara Monika, Nikky, dan semuanya akan memburu dua buronan itu. Orang tuanya setuju. Kawan-kawannya setuju. Nikky dan Monika setuju.
Dia tahu rencana ini masuk akal.
Namun, masuk akal bukan berarti Dorothea akan menyukainya.
Dia ingin menghabiskan liburan seperti anak lain. Tidur sampai siang, pergi ke kafe kucing dan bioskop, atau bermain arkade. Mungkin menggeret Izuku sekali-kali untuk perburuan malam.
Namun, dia malah terjebak dengan anak-anak Prodi Pahlawan di Kamp Pelatihan mereka. Selagi The Silent Hands menandainya sebagai buron.
Jadi, sebagai ringkasan—
Dorothea sekarang sedang tidak bersenang-senang.
Untung saja, dia tidak harus menghadapi semua ini sendirian. Dari jauh, dia bisa melihat rambut hijau mirip semak yang tertiup angin.
"Izuku-kun!" panggil si rambut merah. Si rekan langsung berbalik. Mata hijau berbinar di bawah sinar mentari pagi.
"Dorothea-chan! Selamat pagi!"
Gadis itu menyunggingkan senyum. Dia berhenti di dekat Izuku. Pandangan keduanya tertumpu pada murid kelas 1-A yang masih tidak menyadari mereka. Terlalu sibuk berbincang dengan satu sama lain.
"Apa kau antusias?" tanya Izuku.
Dorothea meringis kecil. "Tidak... juga. Kau tahu bagaimana perasaanku soal ini."
"Masih khawatir, huh?"
Pertanyaan itu dijawab anggukan kecil. Dorothea merasakan tangan Eins 'melingkar' di lehernya. 'Memeluk'. Itu agak sedikit menenangkan hati.
"Bagaimana tidak? Saat kau bisa menghancurkan dunia hanya karena kau ada, sepertinya wajar jika aku khawatir."
"Secara teknis, yang menghancurkan dunia bukan kau, tetapi Serathephim."
Gadis itu menyikut Izuku sembari menggerutu. Sang kawan terkekeh. Mengelus tangan yang menjadi sasaran. Dua anak itu saling pandang. Lalu tertawa bersama-sama.
"Dorothea? Midoriya?"
Suara familiar itu memutus mereka. Dan laki-laki berambut dwiwarna pemiliknya bergerak mendekat.
"Todoroki-kun!" sapa Izuku antusias. Dia melambaikan tangan. "Selamat pagi!"
Anak yang disapa ikut melambaikan tangan. Mata biru-abu-abu bolak-balik mengamati dua murid kelas 1-C yang berdiri di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Normal ; Interweave
FanfictionAlternate Universe dari 'Normal (A BNHA Fanfiction)'. Bisa dibaca sebagai stand alone. *** Hidup Midoriya Izuku berubah pada umur 4 tahun, saat dia tahu dia tidak mempunyai quirk. Dan mimpi menjadi Pahlawan pupus dari matanya. Akan tetapi, hidupnya...