36. Hardworks Hours

168 37 31
                                    

Todoroki berjalan di koridor gedung milik Pussycats sembari menguap kecil. Dia tidak tahu kenapa Dorothea masih mau terjaga. Todoroki sendiri merasa sangat lelah. Mungkin mengalahkan makhluk-makhluk tanah tadi siang turut andil dalam hal itu.

Akan tetapi, sebelum dia sampai ke ruang tidur siswa laki-laki, dia mendengar suara berdebum dari sebuah pintu.

Dengan penasaran, Todoroki mendekat. Melihat pintu itu sedikit terbuka, dia memutuskan mengintip ke dalam.

Rambut hijau yang familiar terlihat di dalam ruang sempit.

"Midoriya?"

"Ah!"

Pemilik nama itu terlonjak. Nyaris menjatuhkan obeng yang dia genggam. Izuku berbalik. Mata hijaunya kembali mengecil ketika melihat Todoroki.

"Kau hampir membuatku jantungan." Dia mendengus. Tangan mengelus dada.

Todoroki, masih berekspresi datar, melangkah masuk. "Apa yang sedang kau lakukan?"

"Hanya sedikit modifikasi kecil. Bukan hal penting." Izuku terkikik. Kembali berfokus ke peralatannya. "Oh, dan aku sudah ijin memakai ruangan ini. Jadi, kau tidak perlu khawatir."

"Bukan itu yang aku—"

Mata dwiwarna melirik ke meja tempat Izuku tadi sibuk berkutat. Tampak sepasang sepatu tergeletak di sana. Berwarna merah dengan model kasual. Akan tetapi, bagian sol-nya sedikit tebal.

"Itu—?"

Izuku meringis. Dia menepuk sepatu dengan bangga.

"Secara teknis, ini sepatu yang sama dengan yang dibuat Mei dan aku saat Festival Olahraga," terangnya. "Tetapi dengan model baru sehingga terlihat awam dipakai. Dan... uh, sedikit sentuhan teknologi The Children."

Si anak hijau menunjuk ke skema yang ditempel ke dinding. Todoroki mengerjap. Desain yang terpajang disana terlihat sangat rumit. Dia bahkan tidak tahu harus berkomentar apa.

"Kau sangat rajin jika menyangkut ini, huh?"

Izuku tertawa. Dia menggaruk kepala hijaunya yang tidak gatal. Pandangan teralihkan. "Aku harus membuat kompensasi."

Netra hijau melirik ke Todoroki.

"Quirkless, ingat?"

"Seakan kata itu pernah menghentikanmu," dengus Todoroki.

Anak di depannya tersentak. Sejenak, proyek terlupakan. Dia menatap kawannya terbelalak. Si merah-putih mengangkat bahu.

"Aku hanya jujur."

Izuku terhenyak. Giliran dia yang mengerjap. Lalu terkekeh. Kedua anak berbagi senyum di bawah lampu yang agak temaram.

"Terima kasih, Todoroki-kun."

***

Matahari bahkan belum terbit.

Hanya sedikit mengintip dari horizon di timur sana.

Namun, anak-anak Prodi Pahlawan sudah bangun.

Dorothea keluar dari gedung dengan langkah terseok. Berdiri di belakang murid lain yang masih menahan kantuk.

Dia meregangkan tubuhnya sedikit. Lalu mempererat syal yang ada di leher. Dia dan Izuku tidak memakai seragam olah raga. Hanya seragam biasa lengkap dengan jas abu-abu.

"Dingin?" tanya Eins. Dorothea mengangguk. Lalu menguap.

Disampingnya, Izuku tampak berjingkat kecil. Sepertinya sama sekali tidak terganggu oleh udara pagi yang membekukan tulang.

Normal ; InterweaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang