Bel berdering bertanda waktu ujian sudah selesai. Dorothea berjalan lesu keluar. Meratapi nasib mengingat jawaban abstrak yang dia bubuhkan pada detik-detik terakhir.
Eins seperti biasa melayang di belakang pundak dengan setia. Pandangan di mata semunya turut prihatin.
"Maaf aku tidak bisa banyak membantu."
Ya, beberapa kali si hantu memberinya uluran tangan di pelajaran seperti sejarah dan sastra Jepang. Namun, dalam matematika, seperti skill mereka ada di level yang sama.
Tidak bagus-bagus amat.
Gadis berambut merah itu mendesah. Namun, dia tersenyum menenangkan kepada si hantu. "Tidak masalah. Itu bukan salahmu," bisiknya pelan.
Tidak jauh, telinganya mendengar suara Izuku dan Shinsou yang sudah mendahuluinya. Dua anak itu sibuk berdebat.
"Aku menjawab 8 untuk nomor itu."
"Sungguh? Aku menjawab asal yang itu. Sial."
"Bagaimana dengan nomor tujuh? Aku menjawab 42."
"Eh? Nomor tujuh kau menjawab 42?"
"Err, yeah?"
"Aku dapat 21!"
"Shinsou, kau harusnya membaginya dulu baru—"
"Tolong diam," keluh Dorothea. Dia menutupi kuping dengan tangan. "Aku sudah muak dengan segala perhitungan ini. Yang berlalu biarlah berlalu."
"Datang, kerjakan, lupakan, eh?" goda Shinsou.
Bibir Dorothea maju beberapa senti. Namun, dia tidak bisa menyanggah anak ungu itu. Otaknya terasa terbakar walaupun dia secara teknis hanya menghitung di soal yang dia paham. Itupun belum pasti benar.
"Ughh, sudahlah. Ayo ke kantin. Kepalaku butuh energi tambahan setelah neraka tadi."
"Kau berlebihan, Dorothea-chan."
"Aku bukan genius sepertimu, Izuku-kun."
***
Lunch Rush memberi mereka porsi besar hari itu. Mungkin tahu bahwa anak-anak yang sudah bersusah payah ujian butuh sedikit dihibur. Apapun itu, Dorothea berterimakasih atas sepotong roti isi tambahan di piringnya.
Trio itu membawa nampan mereka yang sekarang penuh dan mulai mencari tempat duduk. Untung saja, di tengah lautan siswa kelaparan, seseorang berambut merah-putih sudah menjagakan tiga kursi untuk mereka. Di sampingnya, tampak remaja berkacamata dan gadis berambut cokelat yang familiar.
"Kalian lama," cetus Todoroki ketika trio 1-C itu sudah dekat. Shinsou mendesah kecil.
"Hari ini kami dapat matematika. Kau tahu perasaan Dorothea soal itu."
"HEI!"
"Senang bertemu denganmu lagi, Izuku-kun!" sapa Uraraka Ochako. Iida yang duduk di sebelahnya ikut mengangguk.
"Aku juga." Izuku terkikik.
Mereka duduk sebelum fokus melahap makanan. Sesekali kunyahan disela oleh obrolan bertopik ringan. Mulai dari ujian yang mereka kerjakan tadi sampai berita-berita baru yang muncul di televisi.
"Oh! Apa kalian sudah dengar soal Stain—AH!"
Ucapan Uraraka terputus ketika seseorang mendorong kursinya. Sang gadis pemanipulasi gravitasi itu tersentak ke depan. Hampir menyenggol mangkok berisi nasinya.
"Oh, jadi ini kelas 1-A yang sering dielu-elukan itu~?"
Suara itu membuat mereka menoleh. Pandangan terpaku pada seorang anak rambut pirang yang tampak necis. Satu tangan membawa nampan, sementara tangan yang lain digunakan untuk menutupi mulut yang tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Normal ; Interweave
FanfictionAlternate Universe dari 'Normal (A BNHA Fanfiction)'. Bisa dibaca sebagai stand alone. *** Hidup Midoriya Izuku berubah pada umur 4 tahun, saat dia tahu dia tidak mempunyai quirk. Dan mimpi menjadi Pahlawan pupus dari matanya. Akan tetapi, hidupnya...