Dari tempatnya duduk di salah satu cabang ranting pohon tinggi, Seren dapat melihat banyak hal. Mulai dari bebatuan besar sampai tumbuhan yang menghiasi lantai hutan. Akan tetapi, tentu bukan itu yang menjadi incaran matanya.
Melainkan sekelebat rambut merah.
Iris gelap berkilat dari balik tudung ketika dia mengamati Dorothea Tuning bergerak. Sang gadis tampak diikuti oleh bocah berambut pirang pasir. Sungguh malang nasibnya, terpisah dari si hijau yang loyal dan biasa menemani. Namun, harusnya ini menjadi semakin mudah. Mengingat satu pemburu lebih gampang diatasi daripada dua.
"Belum, belum..." Seren bergumam pada dirinya sendiri. "Harus menunggu tanda si arsonist itu. Dan si bocah gas. Siapa namanya—Mayonaise? Ah, bukan—Mustard!"
Tawa kecil menghiasi bibir Seren. Ditutupi oleh tangan kiri. Sementara tangan kanan memainkan lempengan bulat keemasan. Batu hitam yang ada di tengah benda itu berkilat di bawah cahaya bulan.
Demonic Amulet.
"Sebentar lagi," ucap Seren pada kegelapan malam.
"Kami akan mendapatkanmu, Sang Mata."
***
Gemeresak daun seperti bergema dalam malam yang hening—
"GAH! Kenapa aku harus terjebak denganmu?!"
Yah, mungkin tidak hening juga.
Dorothea bertaruh teriakan Bakugou pasti menggema di seluruh hutan. Sang gadis tidak yakin apa dia harus membekap mulut atau sekalian mencekik anak itu. Lagipula, mereka ada di tengah hutan yang sepi, tidak akan ada yang tahu—
Ehem.
Kontrol dirimu, Dorothea.
Jadi, dia memilih menjaga jarak beberapa langkah di belakang Bakugou. Berjalan berdekatan dengan si dinamit hanya akan mengundang baku hantam.
"Ugh, ini yang terburuk," bisik Dorothea sembari mengusap wajahnya. Eins 'memeluk' lehernya dengan simpati.
"Kalau begitu, sebaiknya kalian menyelesaikan ini dengan cepat, hmm?"
"Itu yang aku mau," desis Dorothea. "Sayang Anak Bom ini memperlambat kita dengan omong kosongnya."
"HEH?! KAU BILANG APA, MESIN JAHIT?!"
Bakugou berbalik. Iris merahnya beradu dengan iris emas Dorothea yang tampak bosan. Tidak tersinggung, hanya kesal.
"I said what I said, Baka-gou."
Jawaban sang gadis itu membuat hidung rekannya kembang kempis. Dorothea tidak peduli. Dia melipat tangan di depan dada. Berjalan melewati si pirang dengan santai.
"Kita berdua sama-sama tidak menyukai ini. Jadi, berhentilah mengoceh! Semakin cepat ini selesai, semakin baik."
"JANGAN SOK MEMERINTAH!"
Bakugou bersumpah serapah. Tak lama, kakinya berderap untuk menyusul Dorothea. Sang gadis bisa merasakan pandangan dua netra merah terpaku pada belakang kepalanya. Jika Dorothea tidak terbiasa dengan hantu atau situasi berbahaya lainnya, tatapan yang diberikan Bakugou pasti sudah membuatnya merinding. Gadis itu mendengus, membatin sembari mengatur napasnya.
Cukup ikuti jalur, ambil tanda dengan nama kita, lalu kembali. Dan jangan sampai kaget karena anak kelas 1-B.
Setelah pikiran itu terlintas—
Sebuah kepala menyembul dari tanah.
Kaki Dorothea menginjaknya.
"Ow!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Normal ; Interweave
FanfictionAlternate Universe dari 'Normal (A BNHA Fanfiction)'. Bisa dibaca sebagai stand alone. *** Hidup Midoriya Izuku berubah pada umur 4 tahun, saat dia tahu dia tidak mempunyai quirk. Dan mimpi menjadi Pahlawan pupus dari matanya. Akan tetapi, hidupnya...