04 : Missing

1.4K 276 39
                                    

Atlanta masih berdiri dengan kaku di depan pintu ruang TU

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Atlanta masih berdiri dengan kaku di depan pintu ruang TU. Tangan kanan yang masih terkepal, dia layangkan untuk mengetuk, dan membuka daun pintu. Pergerakan yang cukup lamban, sudah dipastikan laki-laki itu sangat gugup.

Cklek

Pintu terbuka, Atlanta masuk ke dalam ruangan yang didominasi nuansa putih gading, belum lagi wangi buah jeruk yang mengelus rongga hidung cukup lembut, dia berjalan menuju salah satu meja kerja, menghampiri seorang wanita dewasa dengan sangat hati-hati.

Wanita di sana mengangkat kepala, menghentikan kegiatan tulis menulis yang sejak tadi dia lakukan. Menatap wajah Atlanta beberapa detik sebelum mempersilahkan laki-laki itu duduk di depannya.

"Atlanta, kamu sudah paham 'kan, kenapa saya panggil kamu ke ruangan saya," ucap wanita bernama Rina itu. Dia melipat tangan di atas meja, menatap intens murid laki-laki yang kini duduk tertunduk.

Atlanta mengangguk, dia sendiri sudah hafal betul kenapa dia dipanggil ke ruangan TU. Apalagi jika bukan ditagih uang SPP.

"Ini sudah jatuh tempo, Atlanta. Sudah tiga bulan kamu tidak memenuhi tanggung jawabmu. Saya sudah beberapa kali menghubungi orang tuamu, tapi kenapa sampai detik ini mereka tidak datang ke sekolah," ucapnya lagi. Atlanta menundukkan kepala dua kali, bermaksud meminta maaf.

Bukan tidak ingin menyampaikan amanat dari guru yang menjabat sebagai pelaksana tata usaha itu, melainkan ucapan penolakan yang akan keluar dari mulut Ayah ataupun Ibunya, sudah dipastikan itu akan terjadi. Jangankan membayar SPP sekolah Atlanta, sekedar mendaftarkannya saja mereka tidak peduli. Lantas apa yang harus Atlanta harapkan dari kedua orang tuanya itu. Dia sendiri yang berjuang mendapatkan beasiswa agar bisa satu sekolah dengan Jay, tanpa bantuan dari siapapun. Meski mendapatkan beasiswa, tapi Atlanta harus tetap membayar 40% SPP dari biaya yang semestinya. Hal itu masih menjadi tanggungan yang cukup berat bagi Atlanta, mengingat dia hanya bekerja paruh waktu sebagai buruh cuci piring di sebuah restoran, dengan bayaran yang cukup minim tentunya, belum lagi segala keperluan sekolah yang harus dia penuhi.

"Kamu hanya diwajibkan membayar 40% dibanding anak-anak yang lain, mereka membayar full tanpa tunggakkan. Apa orang tuamu sesulit itu, Atlanta?" ucapan wanita itu meluncur begitu saja, dia mengetukkan ujung kukunya di atas meja, menunggu jawaban dari Atlanta.

Atlanta mengangkat kepala, balas menatap wanita dewasa di depannya. Kedua tangannya terkepal kuat. Ayah Atlanta bukan orang yang berkekurangan dalam segi ekonomi, pekerjaan yang ditekuni sebagai General Manager, membuat hidup serba berkecukupan. Dan itu hanya berlaku untuk keluarganya saja, menikmati setiap jerih payah yang dihasilkan, tidak bagi Atlanta.

Laki-laki itu merogoh beberapa uang lembar berwarna merah dari saku seragam, menghitung detail setiap lembar yang sudah dikumpulkannya. Atlanta menyodorkan uang SPP pada wanita di depan dengan sopan.

Wanita itu menghela napas, sedikit menggelengkan kepala sebelum menerima sejumlah rupiah yang diberikan Atlanta.

"Baik, Atlanta. Tapi kamu masih memiliki tunggakkan dua bulan, saya harap kamu segera memberi tahu orang tuamu untuk segera melunasinya, saya tidak ingin murid lain merasa cemburu karena saya terus memberikan kamu banyak waktu untuk membayar SPP," ujarnya.

Atlanta mengangguk lagi, setelah itu uluran tangan wanita di depan tertuju ke arah pintu, mengisyaratkan Atlanta untuk segera kembali ke kelas. Atlanta menundukkan kepala tanda pamit sebelum tubuh tingginya menghilang ditelan pintu.

.
.
.

Di bawah langit jingga, Atlanta mengayuh sepeda dengan kecepatan sedang, menghadang angin sore yang menyapu lembut anak rambutnya. Menghela napas beberapa kali, merasakan atmosfer sejuk yang dirasa, semburat senyum tidak pernah luntur dari wajah manis laki-laki itu.

Masih dengan setelan seragam putih abu, Atlanta memarkirkan sepeda di samping pagar tinggi area pemakaman, berjalan memasuki pintu gerbang yang dijaga Pak Soleh. Pria paruh baya bersetelan kaos oblong, ditambah sarung yang bertengger di bahu itu tersenyum ketika melihat Atlanta, dia membalas senyuman Pak Soleh tak kalah ramah.

"Ata?" ucap Pak Soleh, beranjak dari duduknya kemudian menghampiri Atlanta. "Udah lama ya gak nengok Bunda," imbuhnya, menepuk pelan bahu kokoh Atlanta. Pria itu menengadah sedikit menatap manik mata hitam legam milik anak laki-laki di depannya.

Atlanta tersenyum lebar, kemudian mengangkat tangan, menggerakkannya.

"Ata banyak tugas, Pak," jawab Atlanta, yang dibalas anggukan kepala oleh Pak Soleh.

"Tadi siang Pak Rudi habis berkunjung ke makam Bunda, saya pikir tadi kamu ikut bersama beliau," ucap Pak Soleh. Rudi, Ayahnya. Atlanta tidak menanggapi, laki-laki itu hanya menatap Pak Soleh dengan mimik wajah yang sulit diartikan.

Beberapa saat melamun, memikirkan Ayahnya yang tiba-tiba datang ke pemakaman, Atlanta tersadarkan oleh tepukan lembut dari pria yang berstatus penjaga makam itu. Dia menggerakkan tangannya lagi.

"Kalau begitu Ata mau ke makam Bunda dulu, Pak."

Pak Soleh mengulurkan tangan mengisyaratkan Atlanta untuk masuk melewati pagar pembatas pemakaman. Tidak lupa Atlanta membungkukkan badan sebelum masuk lebih dalam ke area makam yang dipenuhi pohon tinggi rindang.

Kaki jenjang Atlanta menyusuri tanah kemerahan menuju tempat peristirahatan terakhir sang Bunda. Wanita yang sudah mengandung, dan melahirkan Atlanta dengan penuh perjuangan. Walaupun Atlanta tidak pernah melihat wajah Bundanya secara langsung, karena sang Bunda meninggal setelah malahirkannya ke dunia, memberikan nyawanya untuk bayi mungil agar bisa melihat dunia.

Atlanta tersenyum setelah mendapati pusara sang Bunda tepat di depan matanya. Dia melangkah lebih dekat, kemudian berjongkok di sana.

"Hai, Bunda. Maaf Ata baru bisa nengok Bunda sekarang. Ata harap Bunda gak marah ya," batinnya. Atlanta tersenyum tipis, tangan laki-laki itu terulur membuang satu per satu daun kering yang jatuh tepat di atas pusara sang Bunda.

Atlanta menghela napas. "Bunda, Ata kangen sama Bunda. Pengen peluk Bunda, pengen banyak ngobrol sama Bunda."

Laki-laki itu diam sejenak, memandangi nisan yang terukir nama sang Bunda dengan air mata sejuk, sebelum akhirnya Atlanta mengambil sepucuk bunga mawar putih dari dalam tas, bunga kesukaan Bundanya. Dia menaruh bunga yang terlihat masih segar tepat di depan nisan.

"Bunda, hari ini Ata punya teman baru, dia gadis yang cantik, ramah, dan baik. Namanya juga cantik, Elisa. Bunda tau? Dia sangat mirip dengan Bunda. Ata engga tau, rasanya ketika dekat dengan Elisa, Ata merasa ada di dekat Bunda. Ata mau ada di dekat Elisa, Bun. Tapi, apa Elisa mau jadi teman Ata?"

Kembali dengan keheningan pikiran maupun sekitar, Atlanta mengusap nisan dengan penuh kelembutan, seolah sedang mengusap kepala seseorang dengan kasih sayang. Atlanta sedang ingin berlama-lama di makam sang Bunda, menceritakan semua yang dirasakannya, meski hanya dengan suara hati, tapi dia yakin, di atas sana, Bundanya dapat mendengar setiap keluh kesah hidup yang dia jalani, bagaimana dunia seolah tidak pernah adil dan berpihak pada laki-laki itu, bagaimana dunia tidak pernah berbelas kasih memberi kebahagiaan padanya walau hanya sekejap. Hanya angin sore yang menemani keheningan yang diciptakan Atlanta, mengajak laki-laki itu bergulat dengan sapuan angin lembut yang menerpa, menyaksikan piringan matahari yang hampir lenyap di ufuk barat.

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang