32 : I'm for you

515 81 5
                                    

Perasaan cemas masih berpihak pada keduanya. Bahkan ketika guru yang merangkap sebagai wali kelas mereka memutar gagang pintu ruang guru, perasaan tak karuan semakin membuncah. Mereka masih mengekori wanita itu, ke tempat di mana sebuah meja kebesarannya berada, sebuah singgahsana yang biasanya ia gunakan untuk melakukan segala kegiatan sebagai guru.

Ia mengulurkan tangan setelah duduk di kursi empuknya, bermaksud menyuruh Atlanta dan Elisa duduk di kursi lipat yang dibatasi meja panjang berwarna coklat.

"Begini, kepala sekolah sudah menetapkan peraturan baru bulan lalu. Mungkin Elisa belum tau mengenai hal ini, mengingat kamu baru saja mulai sekolah dua minggu yang lalu. Tapi kamu Atlanta." Ia menjeda ucapannya dan memilih menoleh pada Atlanta. "Saya yakin kamu mengerti maksud saya, 'kan?"

Laki-laki itu mengangguk paham. Sementara Elisa, ia menatap Atlanta dan guru itu secara bergantian, seolah bertanya dia sedang dalam situasi yang penuh tanda tanya.

"Maksud Ibu, apa ya? Peraturan apa? Atau mungkin kami berbuat salah sampai Ibu minta kami ke sini?" ujarnya disertai mimik wajah khawatir.

"Tidak. Kalian tidak melakukan kesalahan apapun." Ia menarik napas, kemudian berkata lagi, "Peraturan yang ditetapkan yaitu, seluruh murid wajib ikut serta dalam ekstrakurikuler, setidaknya satu. Hanya tinggal kalian berdua yang belum memiliki kegiatan apapun."

"Apalagi untuk kamu, Atlanta. Mungkin saya masih bisa memaklumi bagi siswa baru seperti Elisa. Tapi kamu? Dari dulu kamu tidak pernah masuk ke dalam ekskul apapun. Ingat, kamu sudah kelas 11, walaupun nilai ekskul tidak begitu berpengaruh pada nilai pelajaran lain di rapor, setidaknya kamu punya point plus dari ekskul yang kamu ikuti."

Atlanta hanya menatap dengan pandangan kosong guru itu, mendengar dengan sangat cermat setiap kata yang keluar dari mulut wanita itu. Elisa hanya terdiam dengan pemikirannya, apakah Atlanta tidak pernah berbaur dengan murid-murid yang lain? Mungkin ia paham kenapa anak itu memilih menghindari kegiatan sekolah, terlepas dari keadaannya, tidak seharusnya laki-laki itu memilih untuk menutup diri.

Terdengar suara desahan pendek dari mulut Elisa, ia kembali menolehkan pandangannya ke arah guru di sana.

"Maaf, Bu. Kalau saya dan Atlanta merepotkan Ibu, saya mengerti posisi Ibu sebagai wali kelas kami, Ibu hanya ingin kami lebih mengeksplor bakat kami, betul? Tapi, mungkin ada alasan lain kenapa Atlanta tidak mengikuti satu pun kegiatan ekskul."

"Saya mengerti, dan saya sangat paham dengan keadaan Atlanta. Saya berbicara seperti ini karena saya sangat menyayangkan bakat terpendam Atlanta yang belum terungkap oleh publik." Ia mengatur napas sebelum melanjutkan perkataannya. "Saya tau, kamu sangat suka musik, 'kan?" tanyanya pada laki-laki itu yang praktis membuat dirinya membulatkan kedua mata.

Berbeda halnya dengan Atlanta yang terkejut setelah mendengar ucapan gurunya, Elisa otomatis menautkan kedua alis sampai menimbulkan guratan di keningnya.

"Dulu saya pernah gak sengaja lihat kamu bermain piano di ruang musik. Kamu sangat menikmati semuanya. Saya pikir kamu cukup berbakat, Atlanta. Apa kamu kesulitan beradaptasi dengan murid lain?"

Atlanta tersenyum kikuk, dia sendiri bukan tipikal anak yang sulit berbaur. Bahkan dia bisa saja sangat akrab dengan orang-orang yang baru saja dikenalnya. Entah, dia merasa menjadi sangat kecil ketika berada di lingkungan sekolah. Terlalu banyak orang memandang rendah kekurangannya di sini.

"Bagaimana? Apa kamu mau masuk ekskul musik?" Tanyanya penuh harap. Tentu saja, wanita itu tidak ingin bakat Atlanta berakhir sia-sia. Setidaknya, semua orang harus tahu, bahwa anak itu benar-benar memiliki kemampuan yang patut diapresiasi.

"Iya, Ta. Kamu masuk ekskul musik aja, ya, ya?" ujar Elisa antusias, ia mengguncangkan lengan Atlanta beberapa kali. Dia sendiri tidak tahu kenapa dia sangat bersemangat memberi sedikit dorongan—ah, lebih tepatnya paksaan—pada Atlanta yang masih mengulum bibir.

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang