73. Ancaman

469 73 21
                                    

Semua tampak berubah, semenjak ia mengetahui sebuah fakta bahwa Atlanta adalah saudara dari teman masa kecilnya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Jay, Elisa masih sangat tidak percaya dengan semuanya. Dia tidak mengerti, kenapa baru sekarang dia mengetahui hal itu? Bahkan sejak dulu, gadis itu sama sekali tak pernah melihat sosok anak kecil lain selain Jay di rumah Rudi.

Dengan tatapan kosong, tangan gadis itu masih mengupas kulit apel hingga ia tak sadar benda tajam itu tiba-tiba menggores jarinya.

"Akh!" Pekiknya.

Hal itu jelas mengundang keterkejutan orang-orang di meja makan itu.

"Astaga! Elisa, kenapa kamu gak hati-hati," ujar Johnny yang duduk di samping sang adik. Ia lantas bergegas berlari mengambil kotak P3K, selama itu pula Elisa membasuh lukanya di wastafel dapur.

Terlalu hanyut dalam pikiran, sampai tak menyadari semua yang ia lakukan. Isi kepalanya hanya dipenuhi teori konspirasi tentang keluarga Atlanta.

"Kamu mikirin apa, sayang?" tanya Vina tatkala gadis itu kembali mendudukkan bokongnya di kursi seraya sang kakak yang mengobati lukanya.

"Gapapa, Ma," katanya.

"Elisa, kenapa kamu gak makan nasi aja? Kenapa Papa selalu liat kamu yang cuma makan buah-buahan aja? Kamu diet?" ujar Pratama kemudian.

Elisa menggelengkan kepala pelan. Jelas dia punya sebuah alasan untuk semua itu. "Enggak kok, Pa."

Terdiam, lalu Elisa kembali teringat bahwa sang Papa sudah berteman baik dengan Rudi sejak masa SMA. Apakah Pratama akan membantunya untuk memecahkan masalah yang tengah ia hadapi?

"Pa, Elisa boleh tanya sesuatu?"

"Boleh. Kamu mau tanya apa?"

"Hmm ... Papa udah temenan lama banget sama Ayah Rudi, 'kan?" kata gadis itu sedikit ragu.

Pratama mengangguk cepat. "Iya. Papa kenal udah lama. Sejak SMA. Kenapa?"

"Kalo gitu Papa tau kan siapa Hani?"

Mendengar pertanyaan Elisa, sontak pria itu membulatkan bola mata terkejut. Ia menatap Elisa menelisik, bagaimana anaknya itu tahu akan hal yang sama sekali tak pernah ia katakan, apalagi menyangkut seseorang yang sudah lama meninggal dunia.

"Elisa ... dari mana kamu tau soal Hani?"

"Jadi Hani itu siapa?" tanya gadis itu lagi, terlihat raut wajahnya meminta penjelasan.

Pratama terdiam, dia bungkam, dia tidak tahu harus berkata apa, masih menatap manik mata sang anak ragu.

"Hani itu adik dari Hana, sayang." Itu Vina, wanita itu angkat suara setelah melihat sang suami yang terlihat enggan menjawab rasa penasaran Elisa.

Gadis itu mengalihkan atensi pada wanita yang berstatus ibunya, lengkap dengan kerutan di kening yang tercetak, menambah pertanyaan-pertanyaan lain dalam kepalanya.

"A—dik dari Ibu Hana?"

Vina mengangguk mantap, memastikan kembali bahwa semua yang ia ucapkan adalah benar.

"Iya, Elisa ... tapi kenapa kamu tiba-tiba tanya soal itu? Hani udah lama meninggal. Kamu tau dari siapa?"

Jantung gadis itu tiba-tiba berdebar semakin cepat, menggelengkan kepala menyangkal semua pikiran buruk lain yang terlintas dalam otaknya.

"Kenapa dia meninggal, Ma?"

Vina menghela napas pendek, sembari mengingat kembali. "Setau Mama karena kecelakaan. Iya kan, Mas?" imbuhnya bertanya pada sang suami.

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang