44 : I don't need pity

522 67 6
                                    

Voment dong;")


"Kalo kamu ngerasa sakit, cepet telpon Abang, ya? Jangan maksain. Jangan bikin Abang panik kaya kemarin. Nanti kalo kamu kenapa-napa Abang juga yang dijadiin samsak sama Papa."

Elisa kembali mengganggukkan kepala ketika Joni lagi-lagi memberinya wejangan. Gadis itu tengah asyik minum satu kotak susu coklat sembari menggulir layar ponselnya.

"Kamu denger gak Abang bilang apa? Jangan ngangguk-ngangguk aja." Laki-laki itu berulang kali menoleh ke arah samping, melihat adiknya yang nampak keasyikan sendiri.

"Denger, Bang. Elisa masih punya telinga, pendengaran Elisa juga masih normal, bawel amat deh."

Joni menghempaskan napas berat untuk pertama kalinya, tanpa mengalihkan fokus ke arah jalanan yang sedang ia lewati.

"El, kamu itu tanggung jawab Abang. Abang gak mau kamu kenapa-napa. Abang bawel juga karena Abang peduli sama kamu, Abang sayang sama kamu."

Elisa menolehkan pandangan, menatap Joni dengan sorot mata terharu. Gadis itu buru-buru memeluk lengan Joni yang tengah menyetir.

"Uh, Elisa makin sayang deh sama Abang. Elisa janji kok, Elisa gak bakal bikin Abang khawatir," ujarnya dengan nada lembut, praktis membuat laki-laki itu mendengus geli.

"Awas ya, sekali lagi kamu bikin Abang khawatir, Abang gak bakal turutin mau kamu lagi," katanya terdengar mengancam.

Elisa segera menegakkan badannya kembali, pupilnya melebar seketika. "Bang, beliin Elisa piano dong."

Joni mengerutkan kening, lalu ia menjawab, "Buat apaan? Kamu ini, aneh-aneh aja kalo minta sesuatu. Kemaren pengen kursus bahasa isyarat, sekarang pengen dibeliin piano."

"Ya emang kenapa, duit Abang 'kan banyak. Masa beli piano aja gak mampu," ujar gadis itu. Tak bermaksud meremehkan isi dompet maupun rekening milik sang Kakak, jika saja ia meminta dibelikan helikopter sekalipun, Joni pasti akan menyanggupinya, hanya saja kala itu Elisa sedang ingin menarik kegeraman Joni agar kemauannya cepat terkabul.

"Masalahnya bukan itu. Akhir-akhir ini kemauan kamu itu aneh, Elisa." Joni menjeda ucapannya, beralih menoleh ke arah Elisa yang masih mengulum bibir. "Jangan bilang gara-gara temen kamu itu, Atlanta?"

Praktis membuat Elisa membulatkan bola mata. Ia segera menggelengkan kepala, mengisyaratkan bahwa yang diucapkan Joni adalah salah, meski kenyataannya adalah benar.

"Engga kok, enak aja." Ia beralih menatap lurus jalanan lenggang di depan, lalu melipat tangan. "Elisa tuh baru aja masuk ekskul musik, Bang. Terus Elisa lagi pengen belajar piano lebih dalem lagi, makanya Elisa pengen dibeliin piano."

"Terus karena laki-laki itu ada di ekskul musik juga 'kan?"

Elisa kalah telak, Joni selalu saja berhasil menebak apa yang ada dalam hatinya. Sepertinya, lain kali gadis itu harus belajar bagaimana caranya berbohong dengan benar.

"Ah udah deh, Bang. Jangan mengalihkan pembicaraan. Jadi gimana, Abang mau beliin Elisa piano gak? Kalo engga, Elisa gak mau ngomong sama Abang lagi."

"Iya, iya, nanti Abang beliin."

Gadis itu segera memberi finger heart, namun Joni hanya acuh tak acuh, laki-laki itu kembali fokus ke jalan yang hampir sampai di sekolah Elisa.

"Oh ya, Bang. Soal beasiswa kemaren, gimana?"

"Tenang, semuanya beres. Abang udah hubungi pihak sekolah."

.
.
.

Baru saja gadis itu menapakkan kaki di sekolah, pemandangan tak biasa sudah tersaji di depan matanya. Puluhan siswa sudah berjajar rapi mengelilingi pintu utama gedung sekolah. Tak hanya itu, banyak di antara mereka yang membawa banner, dan sebuah spanduk besar terbentang di antara dua pilar berhasil membuat gadis itu bertanya-tanya.

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang