31 : Pengakuan

541 77 1
                                    

"Atlanta! Tunggu dulu!" Teriak Elisa yang tak habis-habisnya memanggil nama laki-laki yang saat itu berjalan cepat demi menghindari kejarannya sejak bel istirahat berbunyi.

Dia seperti menulikan telinganya ketika suara menggelegar memenuhi gendang telinga, berdengung bersamaan dengan gema di lorong sekolah. Atlanta tetap tidak memedulikan Elisa yang sudah tersenggal karena mengejarnya.

Ah, apakah laki-laki itu terlalu berlebihan? Bahkan sejak kedatangannya ke sekolah, lalu iris matanya disuguhkan pemandangan tak biasa, di mana Elisa tengah dirangkul Jay, dan berhasil membuat perasaan berkecamuk.

Seharusnya dia sadar diri, Elisa memang serasi dengan adiknya itu. Laki-laki tampan dan berprestasi seperti Jay sangat layak mendapatkan semua yang dia inginkan. Dan gadis cantik seperti Elisa tidak pantas bersanding dengan dirinya, si bisu.

Bruk!

"Aw!"

Ia tercekat, pandangannya berbalik cepat ketika mendengar pekikkan suara dari arah belakang. Praktis dia membulatkan mata, segera berlari menghampiri Elisa yang tengah terduduk di lantai sembari meringis memegangi telapak tangannya.

Gadis itu mengulum bibir ketika Atlanta membersihkan telapak tangannya yang sedikit kotor, mengelapnya dengan raut wajah khawatir. Detik selanjutnya, Atlanta mengerutkan kening, menatap lamat-lamat bekas luka di telapak tangan Elisa. Sebuah goresan yang hampir mengering terpampang jelas di depan matanya.

"Ini luka apa?"

Elisa segera menarik tangannya ketika mengerti pertanyaan Atlanta, dia segera berdiri, yang disusul oleh Atlanta saat itu juga.

"Kenapa kamu hindarin aku terus sih? Kamu marah sama aku?"

Sorot mata laki-laki itu masih tertuju pada tangan Elisa yang sedikit terkepal. Banyak pertanyaan yang sebenarnya ingin dia katakan, sebelum akhirnya Elisa memilih menyembunyikan tangannya ke belakang, otomatis membuat laki-laki itu menghempaskan napas pelan.

"Jangan ikuti aku. Lebih baik kamu ke kantin saja."

Setelah itu, Atlanta membalikkan badan lagi, tungkainya kembali bergerak meninggalkan Elisa. Bukan Elisa namanya jika mudah menyerah. Gadis itu tetap mengikuti Atlanta ke mana laki-laki itu melangkah.

Taman sekolah adalah tujuan Atlanta. Sepertinya memang sudah menjadi kebiasaan laki-laki itu untuk menghabiskan banyak waktu di sana. Sangat jarang orang-orang mengunjungi tempat itu, entah kenapa.

Atlanta segera duduk di kursi setelah melihat Elisa yang ternyata masih mengikutinya. Ia memilih menundukkan kepala, memainkan jari-jarinya.

Dengan langkah yang melambat, Elisa menghampiri Atlanta, duduk di sebelah laki-laki itu dengan perasaan bersalah. Ia tahu, kenapa Atlanta bersikap seperti saat itu.

Beberapa detik, keduanya sama-sama terdiam. Atlanta dengan batinnya yang masih bertanya-tanya tentang perasaan yang sulit diartikan, dan Elisa dengan pikiran bingungnya untuk memulai percakapan.

"Ehmm...."

" ... kamu marah, ya?"

Diam, Atlanta tak merespon apapun. Dia sendiri tidak tahu apa yang dia rasakan. Marah? Tidak. Kecewa? Tidak juga. Cemburu? Ah, bolehkah dia memiliki perasaan seperti itu?

"Maaf."

Intuisinya bergerak cepat, Atlanta menoleh, menatap Elisa yang sejak itu membalas tatapan matanya.

"Harusnya aku bilang ini dari kemarin," ujarnya disertai nada bersalah di sana.

"Kamu tau 'kan, aku udah kenal Jay lama banget."

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang