48 : Guru privat

438 65 2
                                    

Sepulang sekolah, dengan setelan seragam masih melekat, Elisa sudah duduk di depan piano miliknya yang dibelikan Joni. Terdengar suara dentingan berantakan dari balik ruangan yang dikelilingi kaca besar sepenuhnya tempat di mana gadis itu bermain piano. Jemarinya menekan tuts-tuts cukup kaku, belum terbiasa dengan benda yang masih asing.

Tok ... tok

"Assalamualaikum ya ahli kubur." Ucap laki-laki berambut mullet, membuka pintu kaca melenggang masuk.

"Waalaikumsalam wahai penghuni neraka." Jawabnya, tanpa mengalihkan pandangan ke sumber suara, Elisa masih terfokus ke deretan keyboard piano di depan.

Yunaka mendaratkan bokongnya di sofa, menyimpan gelas berisi kopi es americano di atas meja bundar. Laki-laki itu menyenderkan punggungnya ke kepala sofa.

"Kurang kerjaan lo, ya. Tinggal ngomong doang apa susahnya, gak usah pake Whatsapp gue segala. Lo gak tau tadi gue lagi main ML?!" Sulut laki-laki itu panjang lebar.

"Astaghfirullah ... Abang gue udah belajar making love."

"Mobile lagend, ogeb! Ngeres mulu isi otak lo."

"Ya maap atuh, Bang. Gue lagi mager manggil-manggil lo, jadi gue Whatsapp aja deh. Memanfaatkan fasilitas yang ada." Elisa terkekeh setelahnya. Gadis itu kembali menekan tuts piano sampai menghasilkan nada yang cukup membuat telinga berdengung.

"Berisik jingan! Jadi intinya apa nih lo nyuruh gue ke sini. Gue masih ada tugas."

Elisa mengalihkan pandangan. "Ajarin gue, ya."

"Ajarin apaan dah."

"Main piano atuh, Bang," ujarnya disertai tatapan puppy eyes andalan.

Yunaka tak langsung menggubris ucapan Elisa. Ia ber-smirk, mulai menyeruput es americano buatan Bi Asih yang menurutnya paling mantap.

"Sebagai imbalannya apa?" ucapnya.

"Ah, gak asik lo, Bang. Minta jatah mulu." Gadis itu mencebik, menatap Yunaka kesal.

"Ya udah sih kalo gak mau mah." Laki-laki itu beranjak dari duduk, memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana, dengan tangan yang satunya sudah menggenggam gelas untuk dibawanya pergi.

"I—iya, elah. Entar gue kasih permen yupi sebungkus."

"Gak mau sebungkus. Kalo sekarton baru gue mau bantu ajarin lo."

Elisa membulatkan bola mata tak percaya. "Lo meres gue, Bang?!"

"Kagak. Ngapain meres lo pake sekarton permen yupi. Gue juga masih mampu beli, sekalian sama pabriknya."

Elisa berdecak, harusnya ia tahu akhirnya akan seperti ini. Tapi ia tidak punya pilihan lain, setidaknya Yunaka lebih paham bagaimana cara belajar dasar-dasar bermain piano. Konon katanya Abangnya yang satu itu pernah menjadi pianis di grup band SMP dulu.

"Iya iya, gue bakal beliin sekarton permen yupi. Asal lo serius mau ajarin gue. Beberapa hari lagi gue mau tes seleksi anggota ekskul musik."

Yunaka mengangguk, laki-laki itu kembali menyimpan gelas berisi es americano yang nampak tersisa setengah di tempatnya semula. Ia beralih duduk di samping Elisa.

"Gue makin yakin kenapa lo sampe sekarang ngejomblo, Bang."

Laki-laki yang duduk di sampingnya meregangkan otot-otot jari tangan, sembari berkata, "Gak usah so tau lo anak kambing. Itu artinya gue berhasil menjaga kehormatan gue."

"Ck. Kehormatan apanya, yakali ada yang mau grepe-grepe lo, Bang." Elisa menjeda ucapannya, ia menghela napas. "Ini teori gue aja sih, kenapa cewe-cewe pada gak mau pacaran sama lo. Soalnya lo hobi ngemilin permen yupi. Kali-kali yang agak keren kek, kaya kopiko, atau kiss, atau apa kek, lembek banget permen yupi."

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang