24 : I have to be perfect

579 98 0
                                    

Entah sudah berapa kali Elisa melirik arlojinya, menunggu Pratama yang katanya akan datang menjemput. Masih di area parkiran, ditemani Atlanta di sana. Bahkan parkiran itu sebentar lagi akan tampak kosong tanpa adanya kendaraan yang terparkir.

Sesekali dia membuka pesan yang dikirimkan olehnya pada Pratama yang belum di baca oleh pria itu. Elisa terduduk di jok sepeda Atlanta, laki-laki itu menyangga stang dengan sebelah tangannya.

Elisa menoleh. "Kamu gapapa nemenin aku di sini? Kamu 'kan harus kerja."

Atlanta mengangguk, tersenyum lembut dan menggerakkan tangannya.

"Gapapa, aku temani sampai Papa kamu datang. Papa kamu masih di mana?"

Elisa mengangkat bahu. "Gak tau."

Merasa tak ada jawaban apapun dari Pratama, Elisa memilih memesan ojek online untuk pergi sendiri ke kantor Joni. Dia yakin sekali Papanya itu pasti sedang di sana, memantau perusahaan yang sudah dipindah tangankan pada anak sulungnya.

"Tunggu di depan gerbang, yu. Aku udah pesen ojek." Elisa beranjak dari sepeda Atlanta. Laki-laki itu mengambil alih sepeda, menaikinya, tanpa diperintah gadis itu segera naik ke atas pijakan di antara ban.

"Kamu gak mau cerita, siapa yang udah pukul kamu?" ujar Elisa ketika mereka menuju gerbang sekolah yang cukup jauh dari tempat parkir.

Atlanta menggelengkan kepala, lantas gadis itu mendengus kecil.

"Awas aja, kalo aku tau siapa yang udah pukulin kamu, aku bakal abisin dia pake tangan aku sendiri," geramnya.

Tepat setelah itu, mereka sampai di depan gerbang sekolah. Elisa turun dari sepeda. Pengendara motor berjaket hijau menghampiri gadis itu, praktis membuat dia menoleh.

"Mbak Elisa?"

Ia mengangguk. "Iya, Mas."

Elisa mengambil helm yang disodorkan pria dewasa berstatus ojol. Setelah menaiki motor beat, gadis itu melambaikan tangan pada Atlanta tanda perpisahan, tak lupa senyuman terindah yang terpatri sampai membentuk bulan sabit di mata Elisa.

Setidaknya membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk sampai di kantor kakaknya. Beruntung hari itu jalanan terbilang ramai lancar, ia bisa bersantai dulu tanpa diburu waktu.

"Terima kasih, Mas," ucapnya setelah mengembalikan helm itu, Mas ojol hanya mengangguk dan tersenyum sopan menanggapi.

Elisa memasuki lobi kantor, membalas sapaan banyak karyawan yang menyapanya. Hampir seluruh karyawan mengenali gadis itu. Memangnya siapa yang tidak kenal anak dari pengusaha terbesar, adik dari CEO di tempat mereka bekerja, seorang anak remaja yang sangat ramah dan murah senyum dimata mereka.

Ia memasuki lift, menekan tombol lantai 6. Elisa memperhatikan pantulan dirinya sendiri di kaca lift, kemudian menghempaskan nafas pelan.

"Kayanya gue gendutan," katanya, masih menelisik wajah sampai ujung kakinya. Memegangi pipi yang dirasa lebih berisi.

Ting

Pintu lift terbuka, dia segera keluar, mencari ruangan Joni. Tak sulit menemukan ruang kerja kakaknya, satu ruangan yang cukup luas dan besar dengan papan nama bertuliskan CEO ROOM.

Belum sempat tangannya membuka knop pintu, iris mata Elisa menyipit ketika tak sengaja melihat ada seorang wanita di dalam sana. Dia terus memperhatikan kegiatan wanita itu melalui kaca kecil di tengah pintu.

Wanita yang dia sendiri tidak tahu siapa, berdiri di samping Joni, memijat pundak laki-laki itu seraya tersenyum genit. Setelan kurang bahan yang dipakainya, kemeja merah ketat, rok span di atas lutut, rambut kecoklatan curly, dan heels 5cm mampu membuat Elisa mendengus geli.

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang