35 : Dad, I'm your son

691 87 9
                                    

Pagi itu, Atlanta masih berdiri mematung, memperhatikan pantulan dirinya sendiri di cermin, menatap wajah babak belurnya akibat serangan dari Jay tadi malam. Ia menghela napas rendah, mengambil tas ransel, dan segera keluar dari dalam kamar sembari memegangi perutnya yang masih terasa nyeri.

Sewaktu kakinya itu menuruni anak tangga, dia semakin memelankan langkahnya hanya demi melihat orang-orang yang tengah menyantap menu sarapan. Alih-alih memandang lebih lama keluarganya, Atlanta memilih menundukkan pandangan, segera pergi ke dapur, seolah dia tidak melihat siapapun. Lagipula, siapa yang peduli?

"Ata? Kamu mau sekolah?" Bi Mirna sedikit terkejut ketika melihat Atlanta sudah rapi dengan seragamnya. Laki-laki itu mengangguk pelan, mendudukkan diri di kursi.

"Tapi kamu keliatan kurang sehat, Ata," ujarnya terdengar khawatir. Wanita itu mendekati Atlanta, menempelkan punggung tangannya di kening laki-laki itu.

Ia kembali mengambil semangkuk bubur yang sengaja dibuat memang untuk Atlanta. Menyimpannya di meja marmer, lalu duduk bergabung dengan anak itu.

"Makan dulu."

Atlanta mengangguk, menatap semangkuk bubur di depannya. Tak ingin membuat Bi Mirna kecewa, meski rasanya sakit ketika mulutnya bergerak, Atlanta tetap menyendokkan satu suap.

"Terima kasih, Bi. Udah obati Ata."

Terdengar suara desahan napas dari Bi Mirna, wanita itu semakin menatap lamat-lamat wajah pucat Atlanta.

"Sebenarnya, kamu ada masalah apa sama Jay?" tanyanya penasaran. Wanita itu yakin ada sesuatu di antara Jay dan Atlanta, mengingat mereka hampir tidak pernah bertengkar, apalagi sampai saling menyakiti.

Atlanta tidak langsung menjawab, ia sendiri bingung dengan semuanya, ucapan Jay masih terngiang dengan jelas di gendang telinganya. Bukan itu saja, kata-kata kasar Jay tadi malam mampu membuat hatinya terluka, apa benar dia adalah benalu di keluarga ini?

"Bi, apa Ata emang gak pantas buat bahagia?"

Bi Mirna tertegun, tak perlu banyak waktu untuk ia mengerti apa yang dimaksud Atlanta. Wanita itu segera menggelengkan kepala, meraih tangan Atlanta yang menganggur di atas meja.

"Siapa yang bilang begitu, hm?" ujarnya disertai senyuman tipis, sembari mengelus permukaan punggung tangan Atlanta yang terasa sedikit dingin.

Laki-laki itu terdiam, enggan menjawab pertanyaan Bi Mirna, dia yakin wanita yang sudah ia anggap seperti Ibunya sendiri mengerti apa yang dimaksudnya. Ia memilih menatap penuh harap Bi Mirna, seolah wanita itu adalah satu-satunya penopang hidupnya selama 18 tahun, seolah jika wanita itu tak ada dia tak akan pernah mampu bertahan sejauh ini.

"Ata, dengerin Bibi, ya. Ata berhak bahagia, sangat berhak. Setiap makhluk yang bernapas di muka bumi, berhak mendapatkan kebahagiaan, termasuk kamu. Mungkin banyak orang yang tertutup mata hatinya, tapi Tuhan selalu memberi kebahagiaan dengan berbagai cara, meski nantinya kamu harus jatuh bangun untuk mengambil kebahagiaan itu, jika memang kebahagiaan itu milik kamu, dia akan selalu jadi milik kamu, sampai kapanpun, Nak."

Atlanta mencerna ucapan Bi Mirna kala itu, menyaring hal positif yang mungkin akan menjadi pasokan energi untuknya menjalani kehidupan yang tak sesuai keinginan. Namun, sangat sulit rasanya menerima semua beban itu sendirian, kadang dia berfikir, kenapa Tuhan memberi cobaan seberat itu, apa Tuhan tidak sayang dengan manusia seperti dirinya?

"Tapi Ata aib keluarga, Bi. Kenapa Bunda gak gugurin Ata aja waktu itu."

Wanita itu kembali menghela napas sebelum menjawab, "Bukan, Ata bukan aib. Ata itu anugerah buat keluarga ini, sifat baik dan ketulusan hati kamu, adalah hal yang sangat istimewa di sini. Kalo kamu berfikir kenapa dulu Bunda gak gugurin kamu, itu berarti Bunda sayang sama kamu, Bunda mau kamu melihat betapa indahnya dunia jika dijalani dengan penuh rasa syukur." Ia menjeda ucapannya, menatap manik mata Atlanta yang sudah berkaca-kaca.

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang