58 : Rencana?

373 53 10
                                    

Drrtt ... drrtt

Drrtt ... drrtt

Suara getaran dari benda pipih yang bergesekan dengan meja kayu itu sontak berhasil menyambut indra pendengaran seorang gadis yang pagi itu masih bergulung dengan selimut. Merasa terganggu, Elisa beralih menutup seluruh wajahnya ke dalam selimut, menyumbat telinga dengan telapak tangan. Sesekali ia berdecak tatkala suara itu masih terus berdengung di ke dua telinganya yang sudah terasa memanas.

Drrtt ... drrtt

Drrtt ... drrtt

"Ck! Berisik!" Teriaknya di dalam sana.

Drrtt ... drrtt

Drrtt ... drrtt

Gadis itu mengerang, membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhnya dengan cara di tendang. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memfokuskan penglihatan yang terasa mengabur.

"Sialan! Ganggu orang tidur aja."

Elisa menggapai ponselnya yang ada di atas nakas, melihat siapa manusia tak tahu diri yang berani membangunkan tidur nyenyaknya.

Ingin rasanya ia mengumpat pada orang yang yang melakukan panggilan telpon padanya di waktu subuh, namun hal itu terurungkan ketika melihat nomor telpon sang Papa tertera di layar ponsel.

"Apa, Pa?" Tanyanya disertai suara serak khas orang bangun tidur.

"Kamu mau sampai kapan begini terus? Liat, sekarang udah jam berapa. Masih saja bangun siang."

Elisa mengacak rambutnya kasar, ia memejamkan mata, berusaha menahan diri agar tak meluncurkan kalimat sumpah serapah pada Papanya karena ia sangat takut di kutuk setelahnya.

"Baru juga jam 5 subuh," ucapnya enteng seraya mengucek kedua bola mata sekaligus menguap karena rasa kantuk masih bergelayut di kelopak matanya.

"Baru, kamu bilang? Lihat Mama kamu, jam segini dia udah masak, emang gak bisa ya bantu Mama kamu sekali aja, Elisa?"

Gadis itu berdecak, dia memilih bungkam dan tak ingin menambah perdebatannya dengan sang Papa yang ia yakin tak akan ada ujungnya. Elisa menurunkan kaki dari ranjang, sampai telapak kakinya menyentuh ubin ia masih setia mendengarkan ocehan Pratama sesekali mengangguk-anggukan kepala.

"Jadi Papa nelpon Elisa pagi-pagi gini cuma mau ngomel doang?"

"Eh, jadi anak gak ada sopan santunnya sama orang tua."

Baik, kali ini Elisa merotasikan bola mata.

"Papa udah tau ceritanya dari Abang kamu tadi malam."

"Oh, bagus dong."

Terdengar helaan napas di seberang sana. Sudah bisa ditebak pria itu tengah mengambil oksigen sebanyak mungkin sebelum memulai ke inti percakapan.

"Kamu ini, sudah Papa didik jadi model, biar kamu punya masa depan cerah, sekarang kamu mau ikut kompetisi musik gak berguna itu? Apa yang kamu pikirin, Elisa?"

Apa katanya? Kompetisi musik gak berguna? Elisa menyunggingkan sebelah bibir mendengarnya. Kenapa Pratama mudah sekali mengatakan hal itu.

"Pa! Jangan bilang belajar musik itu gak ada gunanya. Sekarang banyak kok orang-orang sukses karena dia pandai di seni musik. Papa jangan liat garis kesuksesan itu dari tingkat profesi aja. Papa itu gak tau apa-apa, Papa gak tau gimana orang-orang di luaran sana yang jatuh bangun buat ngejar mimpi mereka, Papa gak tau gimana rasanya karena Papa gak pernah ngerasain hidup susah, dari dulu Papa orang terpandang karena Kakek punya perusahaan besar yang sekarang dipegang Papa."

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang