55 : Pembunuh

633 73 7
                                    

Dua jam lamanya sejak perkelahiannya dengan Elisa, sejak saat itu pula Nadin memilih tak mengikuti pelajaran selanjutnya di kelas. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, ia dan kedua temannya masih berdiam diri di gudang belakang sekolah.

"Terus rencana lo selanjutnya apa?" Tanya Linda tanpa mengalihkan pandangan dari layar benda pipih miliknya.

Seorang gadis yang tengah mengisap rokok itu beralih melipat kaki, menyenderkan punggungnya di kepala kursi. Selanjutnya ia menghempaskan kepulan asap di udara, sembari berpikir akan pertanyaan dari Linda.

"Gak tau." Jawabnya singkat, padat, dan jelas, seolah dengan jawaban itu bisa menjelaskan bahwa isi kepalanya saat ini benar-benar tak mampu untuk diajak berpikir.

Nina yang sejak tadi termenung sembari menikmati nikotin mulai mengangkat kepala.

"Lo gak takut kalo tiba-tiba si bisu ngasih bukti kelakuan kita?" ucapnya seraya menatap Nadin penuh arti.

Ya, ketiganya bukan tanpa alasan mengganggu Atlanta, bahkan sampai membully laki-laki itu. Pasalnya Atlanta memiliki sebuah bukti video akan kelakuan tak beretika seorang siswi seperti mereka, apalagi jika bukan merokok dan minum alkohol di area sekolah. Tentu saja hal itu akan merusak reputasi Nadin sebagai anak dari keluarga beradab.

"Iya Nad. Apalagi sekarang ada si cewe bar-bar itu, ya kita makin susah lah bikin si bisu kapok," kata Linda memberengut.

Bukan hanya Linda maupun Nina yang memikirkan si super heronya Atlanta, melainkan gadis itupun sama tengah memikirkan bagaimana caranya supaya Elisa enyah dan tidak lagi mengganggu kesenangan ketiganya.

"Gue punya ide! Gimana kalo kita culik aja si bisu, terus kita ancam biar dia mau hapus semua bukti kita," sahut Linda semangat ketika ide briliannya terlintas dalam kepala.

"Gue setuju! Lagian gue udah cape berurusan sama si Elisa. Gue kapok kena imbas tendangan maut cewe bar-bar itu." Timpal Nina yang tengah mengusap perut yang beberapa saat lalu menjadi samsak seorang model cantik namun galak, siapa lagi jika bukan Elisa Hauratama.

"Gue gak setuju," ucap Nadin seketika.

"Kenapa? Itu jalan satu-satunya biar si bisu nurut sama kita."

Nadin mendengus, ia membuang puntung rokok dan sekali lagi kepulan asap menguar di udara ketika gadis itu meloloskannya perlahan. Pandangannya sontak menoleh ke sudut atas ruangan, pun jari telunjuknya yang mengarah ke sebuah CCTV.

"Kabar baiknya, ternyata gak cuma si bisu yang punya bukti itu."

"Maksud lo?"

Linda maupun Nina beralih mengikuti arah tunjuk tangan Nadin. Praktis keduanya membulatkan bola mata terkejut.

"CCTV!"

"Sejak kapan di sini ada CCTV, anjir!" sahut Nina yang otomatis menegakkan badannya berdiri, masih dengan tatapan terkejut terpatri di wajahnya yang terkenal dingin.

Berbeda halnya dengan Linda dan Nina yang masih tak percaya ada sebuah CCTV di gudang, Nadin malah menampilkan tatapan datar, seolah ia tak ambil pusing dengan sebuah benda yang mampu merekam semua kegiatannya selama ini, toh memang semuanya sudah terlanjur.

"Siapa yang pasang CCTV Nad?!"

"Theo Wijaya."

"Theo?"

Nadin kembali memberikan tatapan tajam ke arah CCTV yang tak begitu jauh dari pandangannya, seperti tengah menatap seseorang dengan penuh kekesalan. Ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket.

"Ya, dia punya semua bukti itu. Dan itu artinya, bukan cuma si bisu yang jadi lawan kita, tapi Theo Wijaya yang mulai detik ini jadi lawan terberat kita."

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang