"Kak Ata kenapa gak ke sekolah aja? Adin gak enak loh kak Ata jadi bantuin anak-anak bikin keripik," ujar anak laki-laki itu canggung. Ya, saat ini keduanya tengah berada di rumah singgah mengemas keripik pisang yang hendak dijual.
Atlanta tersenyum tipis dan menggerakkan tangannya.
"Hari ini pembagian rapor, tidak ada absen. Lagi pula kamu sedang sakit, jadi kakak mau bantu jualan juga. Syukurlah Bi Mirna mau ambil rapor kakak ke sekolah."
"Ah, tapi tetep aja kak, Adin minta maaf ya, gara-gara Adin sakit semuanya jadi repot," ucap Adin menyesal.
"Tidak apa-apa. Kakak sama sekali tidak merasa direpotkan."
Anak laki-laki itu mengulum bibir, sebelum akhirnya ia kembali berucap, "Oh ya, kak Elisa gimana kabarnya? Udah lama Adin gak ketemu sama kak Elisa."
Sejenak Atlanta terdiam, pandangan kosong, mengingat saat ini hubungannya dengan Elisa tidak begitu baik pasca gadis itu ternyata mengetahui identitasnya. Dia pikir, mungkin Elisa merasa dirinya yang menutupi semuanya, maka dari itu Elisa enggan menjawab pesannya yang berisi kalimat permintaan maaf. Atau mungkin gadis itu pun butuh waktu untuk menerima semua fakta yang secara tak langsung memberi keterkejutan baginya.
"Kak ... kak Ata kok bengong?" sahut Adin.
Atlanta tiba-tiba tersadar, dan langsung menggelengkan kepalanya pelan lalu melanjutkan kembali kegiatannya.
Dengan tatapan menelisik, anak laki-laki itu kembali bertanya, "Kakak ada masalah sama kak Elisa?"
Sekali lagi Atlanta bersikukuh menggelengkan kepalanya, berusaha meyakinkan Adin bahwa ia dan Elisa baik-baik saja, meski nyatanya anak itu sudah jelas bisa melihat raut wajah Atlanta yang seperti menyembunyikan sesuatu padanya.
"Gapapa kak, Adin ngerti kok. Tapi jangan lama-lama marahannya. Kalo kak Ata punya salah, kakak harus minta maaf sama kak Elisa. Adin yakin kak Elisa juga bakal ngerti kok kak."
Atlanta kembali tersenyum menanggapi ucapan Adin. Ia lantas menoleh ke arah jam dinding yang terpasang di ruangan itu.
"Adin terima kasih sudah memberi kakak nasehat. Apa ada yang kamu mau? Kakak akan ambilkan."
Adin menggeleng. "Enggak, kak. Udah sore, kak Ata pulang aja, Adin gapapa kok. Nanti keluarga kakak cemas nyari kakak."
"Benarkah?"
Anak itu tersenyum lembut. "Iya, kak. Makasih ya kak Ata udah mau nemenin Adin di sini."
Atlanta beralih mengusak rambut Adin pelan.
"Cepat sembuh. Nanti kakak mampir lagi ke rumah singgah."
Atlanta segera beranjak dari sana setelah berpamitan dengan Adin dan juga anak-anak yang lainnya. Ia berniat mengunjungi makan sang Bunda sebelum pulang ke rumah.
Waktu masih menunjukkan pukul tiga sore, tapi langit perlahan mulai berubah menghitam pertanda hujan akan segera turun, dengan semilir angin yang semakin berhembus cukup kencang menusuk kulit.
Laki-laki itu bergegas mengayuh sepeda untuk secepatnya sampai di area pemakaman yang jaraknya cukup jauh dari rumah singgah. Namun, tak berselang lama, sebuah motor sport dari arah belakang tiba-tiba menyenggolnya dengan sengaja hingga Atlanta terjatuh di atas aspal jalan yang kala itu cukup sepi.
Bruk!
Ia meringis kesakitan merasakan sensasi perih di beberapa titik badannya yang lecet akibat bergesekan dengan aspal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat untuk Atlanta
Teen Fiction"Sana pergi! Dasar anak haram! Gak tau diri! Bisu!" "MATI LO CACAT!" "LO SAMA BUNDA LO, SAMA-SAMA MANUSIA KOTOR!" ᴍᴜꜱɪᴋ ɪᴛᴜ ᴛᴀᴋ ᴘᴇʀɴᴀʜ ʙᴏʜᴏɴɢ ᴋᴀɴ? ᴋᴇᴛɪᴋᴀ ᴍᴇʟᴏᴅɪɴʏᴀ ᴍᴇɴɢᴀʟᴜɴ ʙᴇʀɪʀᴀᴍᴀ, ᴍᴇᴍʙᴇʀɪ ᴋᴜᴀꜱᴀ ᴘᴇᴍᴀɪɴɴʏᴀ ᴍᴇʟᴀɴᴛᴜɴᴋᴀɴ ꜱᴜᴀꜱᴀɴᴀ ʜᴀᴛɪ ʏᴀɴɢ ᴛɪᴅᴀᴋ ʙɪꜱᴀ ᴅ...