51 : Fear of losing

373 54 7
                                    

Dengan langkah cepat, Theo menggendong Elisa yang sudah tak sadarkan diri. Hal itu tentu saja membuat banyak pasang mata memandang penuh tanda tanya dengan laki-laki yang tengah kepanikan membawa seorang gadis. Ia terus menelusuri setiap koridor sampai lorong sekolah untuk sampai di parkiran.

Namun langkahnya terhenti ketika seorang laki-laki berdiri dengan raut wajah tak kalah panik dengan Theo.

"Apaan sih! Awas! Lo gak liat Elisa pingsan?!"

Laki-laki itu menggerakkan tangannya cepat yang mungkin ia tahu Theo tidak akan paham dengan bahasa isyarat.

"Elisa kenapa?"

"Lo bilang apa sih bisu! Gue gak ngerti! Awas awas!"

"Aku ikut."

Theo merotasikan bola mata, menatap Atlanta dengan pandangan jengah.

"Apaan! Lo mau ikut?" Atlanta menganggukkan kepalanya. "Ya udah ayok! Bantu gue!"

Keduanya kembali melangkahkan kaki lebar menuju parkiran di mana mobil Theo terparkir, untung saja hari ini ia membawa mobil ketika motornya sedang dalam masa perbaikan.

"Buka!"

Atlanta segera membuka pintu mobil bagian belakang kemudi. Dengan penuh kehati-hatian, laki-laki berwajah tegas itu mengalihkan Elisa ke sana, pun Atlanta yang beralih memangku kepala Elisa di pahanya.

Theo mulai melajukan mobilnya ke luar sekolah dengan kecepatan sedang, membawa gadis itu ke rumah sakit terdekat dari sekolah. Di belakang sana, Atlanta masih memandangi wajah pucat Elisa. Ia mengusap peluh yang menetes di kening gadis itu dengan tangannya yang sedikit bergetar, lalu menggenggam tangan dingin Elisa dengan penuh harap bahwa gadis itu akan baik-baik saja.

Apa yang terjadi dengan Elisa? Hatinya ikut merasa sakit dengan keadaan Elisa yang seperti ini. Ia tak peduli jika ia harus membolos sekolah hari ini, yang terpenting sekarang adalah Elisa.

Sesampainya di depan rumah sakit, Theo kembali mengambil alih Elisa untuk dibawanya. Ia berlari sekuat tenaga memasuki lobi rumah sakit.

"Suster! Tolong!"

Beberapa orang perawat yang melihat siswa tengah membawa gadis tak sadarkan diri segera mengambil brankar yang tersedia di sana. Lorong yang awalnya hening kini dihiasi derap langkah orang-orang dan suara bising yang berasal dari roda brankar yang di dorong.

Di atas sana Elisa masih tak sadarkan diri, tim medis terus memompa kantung oksigen yang terpasang menutupi mulut sampai hidung gadis itu, mereka membawanya ke ruang UGD.

"Kalian tunggu di sini. Biar kami yang menangani," ucap seorang suster saat sudah berada di pintu kaca buram UGD, menahan dua orang laki-laki yang ingin ikut ke dalam.

Keduanya hanya bisa nurut dengan ucapan sang suster. Theo lantas mengusap wajahnya kasar karena frustasi, jantungnya benar-benar berdebar sangat cepat kala itu. Tak berbeda jauh dengan Theo, Atlanta sama-sama panik bukan kepalang ketika gadis itu harus masuk ke UGD.

Atlanta terus mengatur napasnya yang tak beraturan, menggigiti kukunya gusar. Ia beralih mendaratkan bokongnya di kursi besi panjang di depan ruang UGD, menatap pintu di depan dengan sangat cemas.

"Ini semua gara-gara Nadin," ujar Theo bermonolog. Praktis membuat Atlanta menoleh, dan menampilkan Theo tengah menyadarkan punggungnya di samping pintu UGD sembari menutup mata, menengadahkan kepala ke atas.

Laki-laki itu menautkan kedua alis mendengar ucapan Theo.

"Gue gak bisa biarin ini."

Theo merogoh ponselnya di saku celana, mengetikkan sesuatu di sana. Terlihat laki-laki itu mengatupkan rahang, jelas ia tengah menahan amarah yang ada dalam dadanya. Di sisi lain, Atlanta masih menebak apa yang sudah Nadin perbuat pada Elisa. Meski ia tidak tahu apa-apa, yang pasti Theo tengah merencanakan sesuatu untuk Nadin, dan Atlanta tahu Theo tidak akan pernah main-main ataupun pandang bulu dengan tindakannya.

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang