Dengan telaten, Bi Mirna berulang kali mengganti saputangan yang menempel di kening Atlanta, memerasnya dengan air hangat guna mengurangi suhu panas yang kala itu menyerang tubuh Atlanta. Wanita itu jelas panik bukan kepalang tatkala Atlanta pulang bekerja tadi malam dengan keadaan basah kuyup karena hujan sembari menggigil hebat.
Perlahan, bola mata sayu itu terbuka ketika merasakan telapak tangan Bi Mirna menyentuh pipi dan lehernya.
"Ata, udah bangun?"
Atlanta mengangguk lemah, ia mencoba menegakkan badan dan menuruni ranjang, namun Bi Mirna segera mencegahnya, membawa tubuh lemas Atlanta untuk kembali berbaring.
"Ata mau sekolah, Bi."
"Tapi kamu lagi sakit. Nanti biar Bibi yang bilang sama guru kamu, ya? Sekarang kamu makan dulu, abis itu minum obat, istirahat."
Laki-laki itu hanya mampu menuruti semua yang dikatakan Bi Mirna. Kepalanya terlalu pening, pun badannya lemas bukan main kalau ia bersikeras dengan keinginannya yang memang tak mungkin.
"Udah Bibi bilang jangan kecapean, Ata. Terus kenapa tadi malem hujan-hujanan? Kenapa gak neduh dulu?" ucap wanita itu sembari menyuapi Atlanta semangkuk bubur.
"Maaf, Bi. Sudah buat Bibi khawatir."
Bi Mirna menghela napas, ia paham betul dengan semangat kerja keras Atlanta. Tapi tak seharusnya anak itu terlalu memforsir tenaga sampai mengabaikan kesehatannya sendiri.
"Bibi maafkan. Tapi lain kali, kamu jangan memaksakan diri, ya?"
Atlanta mengangguk lagi mendengar ucapan Bi Mirna. Ia beralih menatap lurus dinding kamar di depan tanpa ekspresi, lantas membuat wanita yang menyadari tatapan sendu di wajah Atlanta bertanya-tanya.
"Apa yang kamu pikirkan, Ata?"
Ia kembali menolehkan pandangan ke arah Bi Mirna yang sedang menatapnya.
"Ata kangen Bunda, Bi."
Sorot mata itu, adalah sorot mata menyayat hati yang pernah wanita itu tatap. Pandangan putus asa tergambar akan sarat kepedihan tercetak jelas di sana. Entah ini hanya perasaan Bi Mirna saja, atau memang benar laki-laki itu tengah menyembunyikan rasa sakit yang tidak ingin orang lain tahu.
Bi Mirna sudah paham ketika Atlanta mengutarakan bahwa ia merindukan Bundanya, itu berarti ia tengah membutuhkan seseorang sebagai sandaran, seseorang yang mau mendengarkan suara hatinya. Terkadang, ia sendiri merasa gagal menjadi pilar kekuatan untuk laki-laki itu. Nyatanya, sampai detik ini, Atlanta lebih senang menyembunyikan dan bergelut dengan semua rasa sakit itu sendirian.
"Kalo kamu sudah mendingan, Bibi antar ke makam Bunda, ya?"
Kembali dengan anggukkan kepala, pun satu suap bubur yang ia telan lagi. Rupanya ia masih ingin bertanya lebih pada wanita yang senantiasa merawatnya itu.
"Bi, dulu Bunda orangnya seperti apa?"
Bi Mirna mengulum senyum, wanita itu menatap lembut Atlanta kemudian berkata, "Dulu, Bunda Hani adalah perempuan yang sangat baik. Pekerja keras, tegas, selalu ceria, dan gak gampang menyerah. Bunda Hani juga sering bantu keluarga Bibi waktu kesusahan. Pokoknya Bunda kamu itu perempuan hebat, Ata."
Seutas senyum tersimpul di bibir pucat Atlanta. Mendengarnya saja sudah cukup membuat hatinya menghangat. Jika saja Bunda masih ada, mungkin ia akan sangat bangga memamerkan Bundanya itu pada semua orang, bahwa dia sungguh beruntung memiliki Bunda seperti Hani.
.
.
.Entah sudah berapa lama gadis yang tengah termenung di meja kantin itu mengaduk es campur yang nampak masih terlihat penuh dalam gelas tingginya. Ia sendirian, tak seorangpun yang menemaninya kali ini. Jay, laki-laki itu sudah jelas sedang mengikuti lomba olimpiade di luar kota.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat untuk Atlanta
Teen Fiction"Sana pergi! Dasar anak haram! Gak tau diri! Bisu!" "MATI LO CACAT!" "LO SAMA BUNDA LO, SAMA-SAMA MANUSIA KOTOR!" ᴍᴜꜱɪᴋ ɪᴛᴜ ᴛᴀᴋ ᴘᴇʀɴᴀʜ ʙᴏʜᴏɴɢ ᴋᴀɴ? ᴋᴇᴛɪᴋᴀ ᴍᴇʟᴏᴅɪɴʏᴀ ᴍᴇɴɢᴀʟᴜɴ ʙᴇʀɪʀᴀᴍᴀ, ᴍᴇᴍʙᴇʀɪ ᴋᴜᴀꜱᴀ ᴘᴇᴍᴀɪɴɴʏᴀ ᴍᴇʟᴀɴᴛᴜɴᴋᴀɴ ꜱᴜᴀꜱᴀɴᴀ ʜᴀᴛɪ ʏᴀɴɢ ᴛɪᴅᴀᴋ ʙɪꜱᴀ ᴅ...