Perlahan mata bulat kemerahan itu terbuka, yang pertama kali dia lihat adalah lampu belajar yang ada di depannya menyala, praktis membuat matanya mengerjap beberapa kali. Elisa menegakkan punggungnya, mengucek kedua matanya kemudian mengambil smartphone, melihat jam di lockscreen.
Ia menguap, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Atensinya tertuju pada tumpukan buku paket di depan, Elisa menghela napas, jujur saja dia sangat lelah hari itu, tapi tugas-tugas sekolah dikumpulkan secara bersamaan besok pagi.
Elisa beranjak dari duduk, berniat membuat susu hangat untuk menemani malam panjangnya.
Namun, langkah kaki itu berhenti secara perlahan-lahan ketika gendang telinganya tak sengaja mendengar perdebatan di kamar orang tuanya.
Dia semakin melebarkan pendengaran.
"Jadi Ibu gak becus ngurus anak! Kamu bisanya apa, huh!"
"Maksud kamu apa Mas?! Harusnya aku yang nanya sama kamu! Kamu yang selalu sibuk sama bisnis kamu itu! Gak pernah sekalipun kamu mikirin anak-anak! Sekarang kamu nyalahin aku gak becus ngurus anak-anak?! Di mana jalan pikiran kamu!"
"Aku kerja juga buat keluarga kita, Vina! Kamu pikir kamu masih bisa belanja-belanja itu dari mana?!"
"Tapi kamu gak pernah perhatiin anak-anak."
"Omong kosong! Sekarang kamu liat Elisa. Fotografer tadi banyak kritik dia soal berat badannya. Selama ini kamu kasih dia makan apa? Kamu gak bisa kasih dia makan-makanan sehat, sayuran, salad, atau apa kek, kasih dia vitamin biar badannya tetep bagus."
"Mas! Elisa cuma baik berat badan 1kg aja kamu sampe murka kaya gini. Aku gak habis pikir sama kamu. Dia juga manusia, Elisa gak bisa terus-terusan dituntut sempurna, Mas!"
"Tapi sekarang dia model, Vin! Harusnya kamu sadar, kamu jangan lalai mantau pola makannya Elisa. Kalo brand-brand itu nolak kerja sama, reputasi keluarga kita bisa berantakan."
Di balik pintu, Elisa sudah lama mengepalkan kedua tangannya. Air wajahnya mendadak berubah panas, bahkan hatinya merasa dicabik seketika.
"Huh! Kamu cuma mikirin eksistensi keluarga aja, kamu gak pernah mikirin perasaan mereka. Lama-lama aku jadi mikir, sebenarnya kamu ini manusia apa bukan, kamu gak punya hati, Mas!"
Plak
"BERANI KURANG AJAR SAMA SUAMI?!"
Elisa membulatkan mata sempurna, dia tercengang. "M—mama! Bikinin Elisa susu dong!"
Dia terpaksa berteriak memanggil Mamanya. Dia tidak ingin Pratama menyakiti wanita itu lebih jauh.
Terdengar suara isakan di dalam sana.
"Iya. Tunggu, s—sebentar!"
Cepat-cepat Elisa berlari kecil ke arah ruang tamu, pura-pura meringkuk di atas sofa. Gadis itu merasa dialah penyebab pertengkaran kedua orang tuanya. Dia kesal, kesal dengan dirinya sendiri, kesal dengan keadaan yang selalu menuntut kesempurnaan.
Suara sandal karet kian mendekatinya, membuat Elisa dengan segera menyeka tetes air mata yang hampir keluar.
Vina berdehem, menetralkan suaranya. "Mama kira kamu udah tidur, El."
Masih dengan posisi membelakangi, Elisa semakin merapatkan diri dengan kepala sofa.
"El masih ada tugas, Mah. Tapi El ngantuk."
Bersamaan dengan itu, Vina memilih pergi ke dapur, membuatkan susu hangat untuk Elisa. Dalam diamnya, Elisa semakin berfikir, apakah pertengkaran kedua orang tuanya disebabkan oleh dirinya? Ini bukan kali pertama dia mendengar perdebatan Papa dan Mamanya, yang lagi-lagi mempermasalahkan hal kecil tentang dia.
Entah, apakah dia harus bersyukur atau malah sebaliknya, karena Vina selalu membelanya, meski berakhir dengan kekerasan fisik yang Papanya lakukan.
"Jangan dipaksain." Vina duduk di sofa, menyimpan gelas tinggi berisi susu di atas meja kaca.
Elisa menghela napas, mendudukkan diri, mengambil gelas itu, kemudian bersila di atas sofa. Ia masih menggenggam gelas, meniup air berwarna coklat yang menjalar hangat di area telapak tangan.
"Kalo El gak ngerjain tugas, nanti El dihukum dong, Mah," ujarnya disertai kekehan kecil, dan mulai meminum susu itu. Vina hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar.
Elisa memberanikan diri menatap sang Mama, menelisik setiap inci garis wajah wanita di sampingnya. Wanita itu tetap saja, berusaha terlihat tegar seolah tak terjadi apapun beberapa menit lalu. Senyum itu, masih menghiasi wajah cantik wanita yang nyaris berumur setengah abad, meski Elisa tau, ada sebuah luka di balik senyum sang Mama.
Bolehkah Elisa berpendapat, bahwa Mamanya benar-benar tidak pandai berakting. Sekeras apapun Mamanya berusaha, tapi di mata gadis itu, Vina terlihat sangat rapuh. Ikatan batin di antara keduanya tak bisa membohongi naluri Elisa sebagai anak. Jelas gadis itu sangat peka dengan suatu hal yang berhubungan dengan Mamanya.
"Pipi Mama kenapa merah?"
Vina membulatkan mata, tersentak. Dia memegangi pipi yang dimaksud Elisa, wanita itu gelagapan. "A—ah, ini. Gapapa kok, Mama gapapa."
Sesungguhnya, Elisa benar-benar tidak perlu jawaban apapun dari Vina. Dia paham dan tahu, Vina tidak akan pernah berkata yang sejujurnya pada Elisa. Dari perubahan warna di kulit wajah Vina, gadis itu semakin meringis, sekuat apa Pratama menampar istrinya sendiri, bagaimana telapak tangan besar itu bergesekan kasar dengan pipi halus sang Mama.
"Mah, Mama pernah bilang 'kan, kalo masalah itu gak baik disimpan sendirian. Selagi masih ada orang di samping kita, masih ada orang yang mau mendengarkan cerita kita, kita gak boleh egois sama perasaan kita. Kalo sakit, bilang sakit. Kalo cape, bilang cape."
Vina hanya memandangi anak perempuannya saat itu. Mendengarkan ucapan Elisa yang benar adanya. Sebuah petuah yang selalu dia ucapkan pada anak-anaknya, namun selalu dia ingkari dengan dirinya sendiri. Ternyata benar, berbicara memang mudah, yang sulit itu menjalankannya.
Elisa tersenyum lembut pada Mamanya. Mengusap punggung tangan Vina penuh perasaan.
"Elisa ke kamar dulu ya, Mah." Ia beranjak, berbalik badan setelah Vina menganggukan kepala.
Dengan berat hati Elisa menaiki anak tangga, tanpa ada niatan menoleh untuk terakhir kalinya pada Vina. Rasanya dia tidak sanggup, lagi-lagi wanita itu yang selalu berkorban untuk dia.
Elisa menyimpan gelas yang dibawa di atas nakas. Lalu tungkainya berjalan menuju kamar mandi. Gadis itu memperhatikan pantulan wajahnya di kaca. Merenung, menyadari perubahan struktur wajahnya yang sedikit mengembang.
Tangan mungil itu mencengkram pinggiran wastafel sangat erat, bersamaan dengan gemuruh di dadanya yang tiba-tiba menyesakkan.
Iris matanya tertuju pada sikat gigi yang tersimpan rapi di dalam gelas plastik berwarna biru muda bersama pasta gigi. Elisa mangambilnya, memperhatikan sikat gigi miliknya sendiri dengan pikiran yang menyimpang.
Mungkin ini adalah tindakan gila pikirnya. Tapi gadis itu tidak punya pilihan lain. Semenjak obat-obatannya dibuang, dan dia berhenti mengkonsumsinya lagi, dia benar-benar semakin gila makan.
Mah, maafin Elisa.
Ia menyalakan air wastafel. Kemudian berjongkok di bawah closet. Ia membuka mulut, perlahan gagang sikat gigi itu masuk ke dalam mulut mungil gadis itu. Elisa memaksa benda panjang dan keras untuk memasuki kerongkongannya, mengorek rongga mulutnya.
"Hoek ... hoek." Dia memuntahkan semua makanan yang sempat dia makan.
Meski matanya sudah berair, Elisa tetap melakukan hal itu berulang kali. Dia mengeluarkan semua yang masuk ke dalam perutnya, sampai dia merasakan di sana sudah kosong. Dengan harapan, besok pagi berat badannya tidak akan bertambah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat untuk Atlanta
Dla nastolatków"Sana pergi! Dasar anak haram! Gak tau diri! Bisu!" "MATI LO CACAT!" "LO SAMA BUNDA LO, SAMA-SAMA MANUSIA KOTOR!" ᴍᴜꜱɪᴋ ɪᴛᴜ ᴛᴀᴋ ᴘᴇʀɴᴀʜ ʙᴏʜᴏɴɢ ᴋᴀɴ? ᴋᴇᴛɪᴋᴀ ᴍᴇʟᴏᴅɪɴʏᴀ ᴍᴇɴɢᴀʟᴜɴ ʙᴇʀɪʀᴀᴍᴀ, ᴍᴇᴍʙᴇʀɪ ᴋᴜᴀꜱᴀ ᴘᴇᴍᴀɪɴɴʏᴀ ᴍᴇʟᴀɴᴛᴜɴᴋᴀɴ ꜱᴜᴀꜱᴀɴᴀ ʜᴀᴛɪ ʏᴀɴɢ ᴛɪᴅᴀᴋ ʙɪꜱᴀ ᴅ...