22 : I want to die

715 113 10
                                    

Purnama sedikit mengangguk. "Tergantung. Kalau pasien rutin melakukan psikoterapi, perasaan cemas yang dialami perlahan akan hilang seiring berjalannya waktu tanpa perlu mengkonsumsi obat-obatan."

Kembali dengan pemikiran masing-masing, Yunaka maupun Joni saat itu hanyalah memikirkan kondisi Elisa. Bagaimana gadis itu diam-diam menyembunyikan suatu hal yang mungkin sangat penting, bagaimana dengan bodohnya mereka baru mengetahui sebuah fakta yang cukup mengejutkan tentang kondisi fisik maupun mental adiknya.

Dokter itu kembali mengambil satu botol pet yang sengaja Joni simpan di atas meja.

"Kalau ini, Qysmia. Obat penurun berat badan kombinasi dari Phentermine dan Topiramate. Sebenarnya ini bukan obat keras, tapi kalau dikonsumsi terus menerus gak baik juga."

"Yang ini apa, Mas." Joni menunjuk botol pet dengan obat tablet berwarna putih.

Purnama mengerutkan kening, membulak balik botol pet, lalu berkata. "Oh, ini, obat cuci perut. Mas ndak usah jelaskan apa gunanya, kamu tau sendiri 'kan, Jon?"

Joni mengangguk, otaknya semakin berfikir liar tentang bagaimana Elisa mengonsumsi obat yang  bisa dibilang cukup banyak dan bervariasi, bukankah itu tidak baik untuk tubuh gadis itu?

"Yang ini, obat tidur." Setelah mengatakan itu, Purnama menyenderkan punggungnya di kepala sofa, menatap bergantian dua orang laki-laki di depannya.

Raut wajah terkejut bercampur rasa bersalah terpatri di sana. Purnama paham dengan sesuatu yang mungkin menimpa keduanya.

"Tapi kenapa kalian tanya soal obat-obatan ini? Kalian mau buka apotek, usaha farmasi?" tanya dokter itu.

Joni menundukkan kepala, memijat pelipisnya yang mendadak berputar pening.

"Engga, Mas. Tapi, kalo misalnya obat-obat itu diminum secara bersamaan gimana, Mas. Efek sampingnya apa?" Joni kembali mengajukan pertanyaan, setidaknya mengurangi satu per satu penyebab isi kepalanya yang kian berdengung.

Purnama kembali menegakkan badannya, lalu menyilangkan kaki. "Setiap obat pasti punya efek samping yang berbeda, Jon. Tapi kalo obat-obat ini dikonsumsi bareng-bareng, yo jelas itu ndak baik buat hati sama ginjal, bisa rusak nanti kalo diminum terus-terusan."

Yunaka menatap deretan obat di atas meja. Tidak jauh berbeda dengan Joni, laki-laki itu merasa hatinya seperti diremat, dia bertanya-tanya sejak kapan Elisa menggunakan obat-obatan itu.

"Ada kemungkinan bisa ketergantungan gak, Mas?" Kali ini Yunaka yang mengajukan pertanyaan.

"Tergantung rentan waktu penggunaan obat itu sendiri. Kalo si pemakai secara rutin mengkonsumsi, itu akan jadi kebiasaan dan ketergantungan. Dia akan mencari obat itu, dia akan merasa seperti kekurangan sesuatu kalo gak minum obat itu."

Merasa sudah cukup dengan semua jawaban dari dokter Purnama, Joni dan Yunaka segera berpamitan, yang ada dipikiran mereka hanya satu, yaitu Elisa. Mereka tidak mau menunggu waktu Elisa pulang ke rumah, mengingat Pratama mungkin akan mendengar dan menjadi bahan memojokkan Elisa lagi.

Mereka bergegas tancap gas menuju sekolah Elisa. Keduanya ingin mendengar penjelasan gadis itu secepatnya, mendengar alasan klise yang nantinya akan meluncur bebas dari bibirnya sendiri.

"Bang, apa lo sepemikiran sama gue? Elisa gak mungkin minum obat sebanyak itu kalo dia gak stres sama tuntutan Papa," ujar Yunaka ditengah perjalanan.

Joni menghela nafas, menghempaskannya kasar. "Gue juga mikir gitu, Ka."

Di jalanan yang lenggang dengan kendaraan, Joni memacu kecepatan mobil mewahnya di atas rata-rata. Dia hanya ingin segera menemui Elisa detik itu juga. Joni sedikit melirik arlojinya, jam istirahat sekolah sebentar lagi akan berbunyi.

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang