Budayakan Voment♡
Selepas melakukan perjalanan selama kurang lebih lima belas menit, Elisa dan Atlanta sampai di restoran tempat bekerja laki-laki itu. Dengan pandangan yang masih terkagum-kagum dengan interior restoran yang menurutnya sangat unik, Elisa tak mampu mengedipkan mata barang satu detik.
Mereka sama-sama berjalan berdampingan memasuki restoran ala eropa yang kala itu ramai pengunjung. Sebuah lagu klasik terdengar sangat indah, menambah kesan mewah bak restoran bintang lima.
"Udah berapa lama kamu kerja di sini?" tanyanya mengalihkan pandangan ke arah laki-laki di sampingnya.
"Sekitar tiga tahun."
Elisa menganggukkan kepala. Saat itu pula, langkah mereka terhenti ketika Atlanta menghampiri meja kaca bulat dan menarik kursi mengisyaratkan gadis itu untuk duduk.
Gadis itu segera mengambil buku menu yang tersedia di atas meja. Ia memilih makanan apa yang ingin ia santap kali ini, apalagi Atlanta sudah berjanji akan membuatkan menu apa saja yang ada di restoran.
"Menurut kamu, lebih enak steak atau hati angsa. Aku belum pernah nyoba hati angsa sih. Tapi harganya mahal juga, ya?" ucapnya bermonolog namun dibuat seperti bertanya pada Atlanta tanpa menoleh, ia kembali membulak balik kertas itu berulang kali.
"Hmm ... gimana kalo nasi goreng spesial, atau gurita bakar?! Eh, engga deh ... tapi aku pengen sushi, tapi kayanya iga bakar enak juga." Jari telunjuknya tak pernah berhenti menunjuk satu per satu menu restoran yang terlihat menggiurkan. Entah sudah berapa kali juga Atlanta menghempaskan napas pelan, gadis itu sangat plin plan.
Sembari menunggu Elisa memilih menu makanan, Atlanta mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru restoran yang nampak tak pernah sepi. Harusnya ia sudah berada di dapur untuk mengerjakan tugasnya sebagai buruh cuci piring, ia yakin di sana sudah banyak tumpukan piring kotor yang siap untuk dibersihkan.
"Aku pusing mau pilih yang mana."
Laki-laki itu menolehkan kepala, dan sudah mendapati Elisa tengah mengerucutkan bibir.
"Tapi kamu harus memilih."
"Tapi semuanya enak-enak, Atlanta."
Persekian detik keduanya hanya beradu pandang. Atlanta bingung menghadapi gadis di depannya yang kala itu menyandang gelar konsumen di restoran tempatnya bekerja.
"Atlanta. Saya pikir kamu tidak masuk kerja. Rupanya kamu di sini." Mereka sama-sama menoleh, sosok pria bersetelan formal berjalan mendekati meja yang Elisa tempati.
Atlanta menundukkan kepala, tubuhnya mendadak sedikit kaku tatkala mendapati seorang pria yang berstatus pemilik restoran itu memergokinya.
"Maaf, Pak. Jangan marahi Atlanta." Elisa angkat bicara. Takut-takut pria itu ingin menegur Atlanta yang tidak salah apa-apa.
Ia mengerutkan kening ketika seorang gadis menimpali ucapannya.
"Kamu Elisa Hauratama?"
Gadis itu mengangguk pelan, lalu berkata, "Iya, Pak. Bapak kenal saya?"
"Kamu adik Yunaka Tama 'kan? Kenalkan, saya Kuntara." Ia mengulurkan tangannya, bermaksud mengajak Elisa berkenalan, gadis itu ber-oh sopan menjabat uluran tangan pria yang terlihat seumuran dengan Papanya.
"Kebetulan anak saya teman dekat Yunaka di kampus, jadi saya tau. Pak Pratama, Papa kamu, beliau partner kerja saya juga sewaktu proyek di Kuala Lumpur," ucapnya disertai senyuman ramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat untuk Atlanta
Teen Fiction"Sana pergi! Dasar anak haram! Gak tau diri! Bisu!" "MATI LO CACAT!" "LO SAMA BUNDA LO, SAMA-SAMA MANUSIA KOTOR!" ᴍᴜꜱɪᴋ ɪᴛᴜ ᴛᴀᴋ ᴘᴇʀɴᴀʜ ʙᴏʜᴏɴɢ ᴋᴀɴ? ᴋᴇᴛɪᴋᴀ ᴍᴇʟᴏᴅɪɴʏᴀ ᴍᴇɴɢᴀʟᴜɴ ʙᴇʀɪʀᴀᴍᴀ, ᴍᴇᴍʙᴇʀɪ ᴋᴜᴀꜱᴀ ᴘᴇᴍᴀɪɴɴʏᴀ ᴍᴇʟᴀɴᴛᴜɴᴋᴀɴ ꜱᴜᴀꜱᴀɴᴀ ʜᴀᴛɪ ʏᴀɴɢ ᴛɪᴅᴀᴋ ʙɪꜱᴀ ᴅ...