Entah harus memulai percakapan dari mana, Elisa yang kala itu sudah duduk di bangkunya seperti semula, masih setia memainkan pulpen yang ada digenggamannya. Ya, gadis itu memilih kembali ke habitat asalnya setelah kemarin ia mengungsi ke bangku milik Mark yang ada di urutan paling belakang.
Rasa bersalah lebih mendominasi perasaannya, apalagi ketika Popi dan Adin menceritakan kejadian yang menimpa Atlanta tempo hari saat hendak pergi ke lokasi kompetisi. Semalaman penuh gadis itu pun tak berhenti menebak siapa kemungkinan besar yang melakukan hal keji pada Atlanta, meski pada akhirnya isi otak gadis itu buntu dengan pikirannya sendiri.
Sesekali Elisa melirik dengan ekor matanya pada Atlanta, seraya mencatat rumus-rumus Fisika yang ada di papan tulis. Dapat dilihat dengan jelas bagaimana laki-laki di sampingnya ikut kaku dengan hubungan keduanya yang belum membaik.
Kring...
Suara bel berdenting menandakan jam pelajaran itu sudah berakhir. Semua murid terdengar menghempaskan napas berat, merentangkan bahu yang terasa kebas.
"Pelajaran hari ini sudah cukup. Persiapkan diri kalian untuk menghadapi UTS minggu depan. Selamat siang."
"Siang, Bu ...."
Satu per satu murid keluar dari kelas, menyisakan segelintir orang yang masih menghuni ruangan itu, termasuk Elisa dan Atlanta.
Elisa yang kala itu tengah mengemas barang-barangnya, sembari berfikir untuk mengajak Atlanta ke kantin, sungguh, dia sangat bingung untuk memulai obrolan, bahkan rasanya sangat berat mengucapkan sepatah kata.
"Elisa."
Gadis itu menoleh, menampakkan Jay yang sudah berdiri di ambang pintu kelasnya seraya tersenyum lebar. Laki-laki itu menghampiri Elisa yang masih bertanya-tanya.
"Kamu ngapain ke sini?"
"Kita dipanggil ke ruang guru sama Pak Teguh," kata Jay yang secara otomatis membuat kerutan di kening Elisa.
"Mau ngapain?
Tak ada jawaban dari laki-laki itu, ia hanya tersenyum sekilas lalu meraih tangan Elisa, mengajak gadis itu pergi dari kelas, tak lupa seringaian tajam ia tujuan untuk Atlanta.
"J-jay ... tunggu dulu, kita mau ngapain ke ruang guru?" ucap gadis itu, masih dengan atensinya tertuju ke belakang, di mana Atlanta yang ingin mencegahnya namun nyatanya ia tak bisa, Elisa lebih dulu hilang dari pandangannya.
Jay masih menggenggam tangan Elisa, melangkah lebar untuk cepat-cepat menuju ruang guru yang sudah tak jauh dari jangkauan mata.
"Jay ... lepas. Akh."
Laki-laki itu tak mengindahkan ringisan Elisa yang merasa kesakitan akibat tarikan paksa yang dilakukan oleh tangannya. Karena tak mendapat jawaban yang masuk akal, Elisa memilih menghempaskan tangan Jay, hingga langkah keduanya terhenti, pun genggaman tangan Jay terlepas.
Elisa masih meringis memegangi pergelangan tangannya yang kemerahan, lalu mendongak. "Kamu apa-apaan sih Jay. Sakit tau."
Laki-laki itu menghempaskan napas berat, berkacak pinggang seperti tengah dilanda frustasi, lalu memijat pelipisnya pelan.
"Kenapa kamu masih deket sama si bisu itu?" ujarnya.
"M-maksud kamu?"
"Kamu gak mikir? Dia itu yang udah ingkar janji sama kamu. Dia gak bertanggung jawab buat ikut kompetisi. Huh, kamu masih mau deket sama dia. Kalo aku gak dateng ke kompetisi itu, mungkin kamu udah gagal, El."
Elisa menatap Jay nanar. Dia tahu, Atlanta sejak awal memang berhasil membuatnya kecewa, tapi itu sebelum dia tahu kejadian yang sebenarnya. Gadis itu yakin, ada alasan lain yang membuat Atlanta masih enggan mengungkapkan semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat untuk Atlanta
Teen Fiction"Sana pergi! Dasar anak haram! Gak tau diri! Bisu!" "MATI LO CACAT!" "LO SAMA BUNDA LO, SAMA-SAMA MANUSIA KOTOR!" ᴍᴜꜱɪᴋ ɪᴛᴜ ᴛᴀᴋ ᴘᴇʀɴᴀʜ ʙᴏʜᴏɴɢ ᴋᴀɴ? ᴋᴇᴛɪᴋᴀ ᴍᴇʟᴏᴅɪɴʏᴀ ᴍᴇɴɢᴀʟᴜɴ ʙᴇʀɪʀᴀᴍᴀ, ᴍᴇᴍʙᴇʀɪ ᴋᴜᴀꜱᴀ ᴘᴇᴍᴀɪɴɴʏᴀ ᴍᴇʟᴀɴᴛᴜɴᴋᴀɴ ꜱᴜᴀꜱᴀɴᴀ ʜᴀᴛɪ ʏᴀɴɢ ᴛɪᴅᴀᴋ ʙɪꜱᴀ ᴅ...