Hari Senin, ini adalah awal yang baik untuk Atlanta. Terhitung sudah 4 hari lamanya ia tak menginjakkan kaki di sekolah. Luka-luka bekas siksaan sang Ayah tempo hari, kini perlahan mulai memudar.
Laki-laki itu berjalan riang setelah memarkirkan sepedanya di parkiran belakang sekolah. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Elisa, gadis yang beberapa hari ini sangat dia rindukan. Dengan langkah pasti, kaki jenjang itu mulai menyusuri koridor kelas, dari lantai 1 sampai lantai 3 di mana kelasnya berada.
"Woy! Atlanta!" Sahut seseorang dari arah belakang.
Atlanta menoleh cepat, dan seketika ia melebarkan senyumnya melihat Lucas dan Mark yang tengah berlari menghampirinya.
"Lo udah sembuh?" tanya Lucas, merangkul bahu Atlanta sembari berjalan menuju kelas.
Atlanta mengangguk menjawab pertanyaan Lucas.
"Lo sakit apa sih? Tumben banget, gue pikir lo gak pernah sakit-sakitan," kata Mark. Ya, ini adalah kali pertama Atlanta tak masuk sekolah dalam waktu yang cukup lama. Wajar saja kalau mereka bertanya-tanya akan hal itu.
Atlanta merogoh memo kecil dalam saku celananya, menulis kalimat singkat untuk menjawab pertanyaan Mark.
"Hanya demam."
Membaca tulisan di kertas putih itu, suara helaan napas terdengar dari mulut Mark. "Boong lo, ya? Masa demam sampe pake plester kaya gini," ucapnya, sembari menunjuk jidat Atlanta yang dilapisi plester coklat.
Laki-laki itu seketika tersentak, menyadari luka di kepalanya yang masih butuh benda untuk menutupi bagian kulit yang semula robek akibat benturan.
Ia segera menggeleng, lalu menuliskan sesuatu lagi di memonya.
"Tidak. Aku tidak berbohong. Waktu itu aku terjatuh dari sepeda."
Mark maupun Lucas hanya mengangguk, seolah mengiyakan apa yang Atlanta paparkan, meski nyatanya mereka tak percaya 100% dengan apa yang mereka sadari hanya sebuah alasan.
"Untung lo hari pertama UTS masuk. Kalo sampe lo gak masuk kelas, nilai Fisika gue bisa jebol." Ungkap Lucas.
"Makanya belajar, bego. Jangan cuma PHP-in cewe doang kerjaan lo."
Laki-laki tinggi itu merotasikan bola mata malas. "Cih. Lo pikir nilai lo bagus, Mark?"
"Setidaknya nilai gue satu angka di atas lo."
Saat sampai di depan kelas, iris mata Atlanta langsung tertuju pada sosok gadis yang sedang duduk di bangku sembari memangku dagu dengan lengannya di atas meja, terlihat guratan lelah menghiasi wajah cantik itu.
Atlanta kembali mengayunkan kakinya mendekati Elisa ketika gadis itu masih memejamkan matanya, lalu berdiri di depan. Merasa ada orang yang tengah memperhatikannya, gadis itu segera mendongakkan kepala, melihat laki-laki yang tersenyum padanya, sebuah senyuman yang selama ini ia rindukan.
Elisa membulatkan bola mata sempurna, dan bergegas beranjak dari duduk. "Atlanta!" Sahutnya.
Laki-laki itu menggerakkan tangan, dengan senyuman yang tak pernah luntur dari bibirnya.
"Bagaimana kabar kamu? Apa kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sangat lelah."
Obsidian bening yang berkaca-kaca itu seolah mengisyaratkan bahwa Elisa benar-benar tak percaya sekaligus merasa sangat senang karena Atlanta yang tiba-tiba hadir dikala gadis itu memang tengah memikirkannya. Seperti sebuah harapan yang seketika terwujud.
"Kamu ke mana aja? Aku kangen."
"Jangan sedih, aku gak mau lihat kamu seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat untuk Atlanta
Novela Juvenil"Sana pergi! Dasar anak haram! Gak tau diri! Bisu!" "MATI LO CACAT!" "LO SAMA BUNDA LO, SAMA-SAMA MANUSIA KOTOR!" ᴍᴜꜱɪᴋ ɪᴛᴜ ᴛᴀᴋ ᴘᴇʀɴᴀʜ ʙᴏʜᴏɴɢ ᴋᴀɴ? ᴋᴇᴛɪᴋᴀ ᴍᴇʟᴏᴅɪɴʏᴀ ᴍᴇɴɢᴀʟᴜɴ ʙᴇʀɪʀᴀᴍᴀ, ᴍᴇᴍʙᴇʀɪ ᴋᴜᴀꜱᴀ ᴘᴇᴍᴀɪɴɴʏᴀ ᴍᴇʟᴀɴᴛᴜɴᴋᴀɴ ꜱᴜᴀꜱᴀɴᴀ ʜᴀᴛɪ ʏᴀɴɢ ᴛɪᴅᴀᴋ ʙɪꜱᴀ ᴅ...