46 : Is covering something

470 54 7
                                    

"El? Kok sarapannya gak di makan?" ucap Vina tatkala melihat anaknya hanya mengaduk sayur sup bersama nasi tanpa berniat memakannya.

"Kamu sakit, hm?"

Elisa mengangkat kepala, kedua bola matanya menatap sang Mama dengan perasaan bersalah. Setelah memikirkan tentang diagnosa Dokter kemarin, meski memutar otak ribuan kali, namun gadis itu tetap tak menemukan jalan keluar perihal apakah ia harus memberi tahu semua kepada keluarganya atau tidak.

"Mah, Bang, kalo Elisa meninggal gimana?"

"Hus! Jangan ngomong gitu, gak baik," sahut Joni seketika.

"Iya, El. Lo jangan ngomong soal mati. Kaya mau pergi aja lo." Yunaka kembali menimpali, sama-sama menatap Elisa seperti Vina dan Joni.

Gadis itu menghela napas, kembali menundukkan kepalanya.

"Tapi semua manusia pasti bakal mati. Elisa cuma nanya aja kok."

"Mama pasti sangat sedih." Vina menjeda ucapannya, wanita itu meraih tangan Elisa, menggenggam tangan mungil anaknya yang masih tertunduk, entah apa yang sedang gadis itu pikirkan. "Bukan cuma Mama. Papa, Bang Joni, Bang Yunaka, temen-temen kamu, semuanya bakal sedih."

Elisa bungkam, ia memilih menatap tangan Vina yang masih setia mengelus punggung tangannya.

"Dari hasil pemeriksaan, kamu mengidap sakit, gagal ginjal stadium 4."

Ucapan Dokter kemarin selalu saja berputar dalam otaknya tanpa diperintah. Penyakitnya yang sudah memasuki stadium 4 tak pernah terbayangkan akan menerjang batin dan pikirannya begitu keras. Bagaimana jika nanti ia harus menjalani cuci darah, atau bagaimana nanti ia harus menjalani transplantasi ginjal jika organ dalamnya itu berhenti berfungsi, atau lebih mengerikkannya lagi bagaimana jika ia akan mati akibat penyakitnya itu.

"Kenapa? Ada masalah di sekolah?"

Gadis itu kembali mengangkat kepala, melihat satu per satu orang-orang yang tengah memandangnya. Suasana sarapan pagi itu tiba-tiba saja menjadi sangat hening, tak seorangpun luput dari pikiran carut-marut menebak maksud dari ucapan Elisa yang kelewat tak biasa.

Ia memilih untuk tersenyum, lalu menggelengkan kepala. Gadis itu tidak mau ucapannya tadi membuat Mama dan Kakak-kakaknya menjadi khawatir. Cukup dia saja yang menanggung semuanya sendiri.

"Gapapa. Tadi malem Elisa mimpi buruk, Elisa mimpi meninggal. Makanya sampe kepikiran, gimana kalo nanti Elisa meninggal," ucapnya seraya mulai menyuapkan nasi ke dalam mulutnya sampai penuh.

"Konon katanya, kalo kita mimpi mati, itu artinya bakal panjang umur." Yunaka kembali menimpali. "Iya gak, Bang?"

Joni yang merasa terpanggil menolehkan pandangan. "Iyain aja." Laki-lakil itu lantas kembali dengan kegiatannya, menghabiskan sarapan yang nampak beberapa sendok lagi.

"Tapi, El. Dari pada lo duluan yang meninggal, mending gue dulu aja deh."

Elisa menautkan alis. "Kenapa?"

"Soalnya gue gak bisa idup tanpa lo. Jiaakh!" Serunya tertawa keras. Alhasil Elisa kembali dengan jurus andalannya, kepalan tangan di udara sembari melempar buah anggur yang tersedia di atas meja.

"Sialan lo, Bang."

Vina maupun Joni hanya mampu geleng-geleng kepala dan ikut tertawa ringan. Sudah menjadi kebiasaan rutin Elisa dan Yunaka saling melempar canda maupun umpatan.

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang