"Dan kalo kalian berani macem-macem sama Elisa. Lo semua berurusan sama gue."
Semua orang di ruangan itu menoleh ke sumber suara deep yang tiba-tiba menyahut. Laki-laki tinggi semampai berdiri di ambang pintu. Ia melipat tangan sembari tersenyum miring, kemudian kakinya melangkah mendekati orang-orang di sana.
"Jay?"
"Apa? Lo kaget gue ke sini?" ucapnya ketus. Laki-laki itu menatap datar Nadin yang sedang berusaha merapikan rambutnya yang berantakan tak beraturan.
Ia segera menegakkan badan, diikuti Ria dan Linda yang kesusahan untuk berdiri karena beberapa bagian badannya yang sakit akibat terbentur ubin.
"Ini bukan urusan kamu, Jay."
Jay berdecak, semakin menyunggingkan sebelah bibirnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu mendekati Nadin masih dengan tatapan menusuk. Praktis membuat gadis itu memundurkan kakinya ke belakang.
"Oh jelas ini urusan gue. Lo udah bikin masalah sama pacar gue. Masalah Elisa, masalah gue juga."
"A—aku gak bermaksud nyeret si cewek barbar itu masuk ke lingkaran masalah. Aku cuma ada urusan sama si bisu, tapi pacar kamu itu yang nyari gara-gara. Sok-sok-an jadi pahlawan di siang bolong."
"Lo bilang apa?! Dasar manusia gak punya otak. Ya gue gak bisa diem aja dong liat temen gue dibully! MAJU SINI, GUE GAK TAKUT SAMA LO NENEK LAMPIR!" sungutnya. Gadis itu sudah berkacak pinggang, mengambil ancang-ancang membusungkan dada seperti menantang.
"Lo pikir gue takut, huh?! Sini!"
Ria segera menarik Nadin yang hendak menyerang Elisa. "Sialan! Lepasin gue!" Ia tetap tidak mendengar teriakan Nadin yang meraung.
"Lemah lo! Lawan gue berengsek!"
"ELISA SIALAN! GUE GAK BAKAL BIARIN LO HIDUP TENANG!"
"CUKUP!" Teriak Jay lantang, menggema di dalam ruangan itu.
Semuanya terjingkat. Tak ada satu orang pun yang berani angkat bicara. Jay semakin menyudutkan Nadin, mencengkeram pundak gadis itu sampai terdengar suara ringisan dari mulut Nadin.
"Dengan cara lo kaya gini, sekarang gue bener-bener benci sama lo." Geramnya sembari mengatupkan rahang.
Gadis itu menatap Jay nyalang. "Jadi kamu lebih belain si bisu itu? Iya?"
Mendengar ucapan Nadin, berhasil membuat Jay berdecak. "Gak ada hubungannya sama dia. Jadi lo gak usah bawa-bawa dia di sini."
"Jay, kamu tau 'kan kalo—"
"Nadin! Sekarang gue minta lo pergi dari sini! Sentaknya, laki-laki itu sedikit mendorong bahu Nadin yang tadinya ia cengkeraman kuat.
Gadis itu mengepalkan tangan, menatap sinis Elisa sembari menghentakkan kakinya sebelum melenggang pergi dari sana, disusul Linda dan Ria yang mengekor di belakang.
Elisa tak peduli dengan tatapan Nadin yang sepertinya sedang mengisyaratkan bahwa gadis itu tengah mengibarkan bendera perang, ia lebih memilih menarik napas, segera menangkup wajah Atlanta dengan pandangan panik.
"Kamu gapapa 'kan? Ada yang sakit gak?" ujarnya kalap, punggung tangannya dia tempelkan di kening Atlanta, memeriksa suhu tubuh laki-laki di depan dengan serius.
Atlanta hanya menggelengkan kepala lemah, tidak lupa senyuman tipis ia patrikan detik itu juga.
"Aku gapapa. Kamu jangan khawatir."
"Gimana aku gak khawatir, kamu pucet banget, udah kaya mayat idup tau gak. Baju kamu juga basah, harus di ganti. Kita ke UKS ya."
Sekali lagi Atlanta menggelengkan kepala, menolak ajakan Elisa. Ia memilih menatap Elisa sendu, tangannya terulur menyentuh puncak kepala Elisa, mengusapnya dengan telapak tangan yang sedikit bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat untuk Atlanta
Genç Kurgu"Sana pergi! Dasar anak haram! Gak tau diri! Bisu!" "MATI LO CACAT!" "LO SAMA BUNDA LO, SAMA-SAMA MANUSIA KOTOR!" ᴍᴜꜱɪᴋ ɪᴛᴜ ᴛᴀᴋ ᴘᴇʀɴᴀʜ ʙᴏʜᴏɴɢ ᴋᴀɴ? ᴋᴇᴛɪᴋᴀ ᴍᴇʟᴏᴅɪɴʏᴀ ᴍᴇɴɢᴀʟᴜɴ ʙᴇʀɪʀᴀᴍᴀ, ᴍᴇᴍʙᴇʀɪ ᴋᴜᴀꜱᴀ ᴘᴇᴍᴀɪɴɴʏᴀ ᴍᴇʟᴀɴᴛᴜɴᴋᴀɴ ꜱᴜᴀꜱᴀɴᴀ ʜᴀᴛɪ ʏᴀɴɢ ᴛɪᴅᴀᴋ ʙɪꜱᴀ ᴅ...