41 : Puzzles

431 59 10
                                    

"Pake jaket gue. Nanti masuk angin."

Elisa geming. Gadis itu hanya diam memandangi Theo yang dengan telaten memakaikannya jaket miliknya yang sudah jelas kebesaran, tubuh mungil Elisa tenggelam di dalam jaket yang dengan ajaibnya membawa sebuah kehangatan.

Satu hal yang jelas baru saja ia dapatkan dari sosok menyebalkan seorang Theo Wijaya, laki-laki pemilik rahang tegas yang ia tahu adalah siswa sok berkuasa dan lebih mengandalkan jabatan Ayahnya, ternyata masih memiliki hati yang lembut.

Ah, sebenarnya yang mana Theo yang asli? Apakah kala itu ia sedang dirasuki jin baik?

"Gue tau kalo gue ganteng. Gak usah diliatin kaya gitu. Nanti lo naksir gue."

Elisa tersentak, ia mengerjapkan matanya berulang kali ketika mendengar kalimat menjengkelkan dari laki-laki di depan.

"Siapa juga yang liatin lo. Pede amat jadi orang," ujarnya ketus.

Theo hanya terkekeh, ia menarik sebelah sudut bibirnya, memperhatikan Elisa yang terlihat mulai sebal dengan dirinya. Ia semakin tak yakin bahwa laki-laki yang kala itu bersamanya adalah Theo, manusia yang berhasil masuk ke dalam black list Elisa. Apalagi dengan pertemuan pertama antara keduanya yang sangat tidak menyenangkan, ia masih ingat itu.

"Udah, ayo."

"Ke mana?"

"Ya pulang."

Sekian detik, yang dilakukan Elisa hanya mengulum bibir. Tak lama dagu lancipnya bergerak menunjuk laki-laki itu yang hanya memakai baju kaos agak kebesaran.

"Gue gapapa. Yang penting lo gak kedinginan," ucapnya seraya tersenyum.

Astaga, bahkan gadis itu tidak tahu bahwa Theo memiliki senyum yang cukup manis. Sosoknya yang terkenal kasar, seketika meluluh lantahkan pandangan itu. Theo segera menaiki motor sport miliknya, memakai helm. Namun ia segera menoleh kembali tatkala melihat Elisa yang masih diam di tempat.

"Cepetan."

Lamunannya hancur tak tersisa, gadis itu tersadar. Entahlah, seharusnya ia bisa menolak ajakan Theo saat itu, namun tiba-tiba saja seluruh tubuhnya bergerak mengajaknya menaiki pijakan besi motor Theo, mendudukkan bokongnya di jok penumpang yang menganggur.

"Sorry, gue gak bawa helm buat lo," ujar laki-laki itu. Melirik Elisa lewat kaca spion, dan mendapatinya mengangguk.

"Gapapa. Gak bakal kena tilang juga 'kan?"

Lagi-lagi, Theo hanya terkekeh mendengar ucapan Elisa. Baik nada ketus, lontaran kata kasar, atau apapun itu, Theo sangat suka. Sehari saja ia tak mendengar celotehan Elisa, baginya terasa seperti mati rasa.

"Pegangan dong."

"Dih, ogah! Nyari kesempatan dalam kesem—AAAA!" Pekiknya. Praktis membuat gadis itu memeluk Theo ketika laki-laki di depan dengan sengaja tancap gas, dan mengeremnya mendadak.

"Udah dibilangin pegangan," katanya sembari tertawa puas.

Elisa segera melepaskan pelukan tak diinginkannya, memukul bahu lebar Theo dengan sangat keras.

"Theo, sialan!" Ia menoyor kepala Theo yang dilapisi helm. Namun, laki-laki itu semakin mengencangkan tawanya, seolah melihat sesuatu yang amat lucu.

"Gue turun nih!" Ancam gadis itu yang sudah memberi ancang-ancang hendak turun dari motor Theo.

"Iya, iya, gue cuma bercanda doang, elah."

"Ya udah cepetan jalan!"

Seperti tak ada kapok-kapoknya laki-laki itu mencoba menarik urat leher Elisa, disepanjang jalan ia tak pernah berhenti membuat gadis di belakangnya menggeram karena ulahnya yang menyebalkan. Dan entah sudah berapa kali juga Elisa menoyor, mencubit, bahkan memukul punggung Theo.

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang