47 : But no thanks

479 65 2
                                    

Di dalam bilik toilet yang masih sepi, Elisa terduduk di atas closet, mengeluarkan botol pet obat yang tempo hari Dokter berikan padanya. Ia menelan obat berukuran sedang itu mengalir bersama air bening yang ia bawa dalam Tupperware.

Setelah itu, ia kembali merogoh plastik clip berisi beberapa obat yang selalu ia bawa setiap hari. Elisa masih memperhatikan butiran obat di genggamannya, ia menghela napas pelan, apa ia harus minum obat itu juga?

Jawabannya adalah harus. Jika tidak, sudah dipastikan Pratama akan memarahinya dengan dalih alasan berat badan Elisa yang tidak bisa terkontrol jika tak mengkonsumsi obat diet dan sebagainya. Ia kembali meneguk empat butir obat lagi, sampai ia merasa kerongkongannya terasa penuh.

"Jangan konsumsi obat yang tidak perlu. Itu akan membuat ginjal kamu semakin memburuk."

"Papa gak mau kamu kehilangan karir di dunia model. Minum obat yang Papa kasih, dengan itu kamu bebas makan apapun tanpa takut bertambah berat badan."

Elisa masih termangu, ucapan sang Dokter dan Pratama saling bersahutan di dalam kepalanya. Perkataan siapa yang sebenarnya harus ia turuti? Di sisi lain, ia sungguh tidak ingin organ dalamnya itu semakin memburuk, dan ia juga tidak mau membuat Pratama kecewa padanya, lalu berujung pertengkaran di antara Mama dan Papanya seperti dulu.

Gadis itu menghempaskan napas berat, ia beranjak dari duduk.

"Eh, kalian udah tau gosip terbaru belum? Soal si Elisa, model kelas 2 itu."

Niatnya untuk membuka gagang pintu terhenti seketika, tatkala ia mendengar beberapa siswi masuk ke dalam toilet. Elisa beralih berdiri di balik pintu, mendengar obrolan mereka yang ternyata menyeret namanya ke dalam topik pembicaraan.

"Gue tau! Dia 'kan pacaran sama Jay, tapi katanya dia selingkuh sama sahabat pacarnya, Theo Wijaya."

"Serius lo?!"

"Gue serius. Gue juga liat mereka di kantin berduaan waktu si Jay pergi lomba olimpiade."

Elisa mendengus dalam diam, gosip macam apa itu? Dan apa katanya, selingkuh?

"Wah, gak nyangka sih gue. Bisa-bisanya dia main gila waktu pacarnya gak ada di sekolah. Sama sahabat pacarnya sendiri loh."

"Dia emang cantik sih. Tapi kurang bersyukur, udah untung dapet cowo ganteng, baik, pinter kaya si Jay, eh malah diselingkuhin. Kasian banget pangeran gue."

"Gak cuma itu. Ada yang liat juga mereka berdua pulang sekolah bareng, boncengan berdua. Itu namanya apa kalo bukan selingkuh."

Astaga, ternyata interaksi yang tak diinginkannya dengan Theo berhasil mengundang berita miring dari kebanyakan siswa. Elisa masih terdiam di tempat, menunggu sampai beberapa siswi itu keluar dari toilet, barulah ia membuka pintu bilik toilet, lalu pergi dari sana.

"Hai, Elisa!"

Gadis itu terkesiap. Bagaimana tidak, baru saja ia membuka pintu toilet, seorang laki-laki tinggi berdiri menjulang di depan tiba-tiba menyapanya dengan suara deep.

Ia masih mengelus dadanya yang berdebar. "Lo emang anak setan!" sahutnya.

Laki-laki di depan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Theo hanya menyeringai, ia melipat tangan di depan, menyejajarkan tinggi badannya dengan Elisa.

"Apa kabar tuan putri."

Elisa merotasikan bola mata. "Kabar gue baik sebelum gue ketemu sama lo!" sungutnya yang berhasil membuat Theo menegakkan badan lagi. Namun laki-laki itu beralih menarik sebelah sudut bibir.

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang