66 : Change well

497 68 7
                                    

"Ini mau ke mana sih, Bang?" tanya Elisa yang kala itu duduk di samping kemudi seraya menatap Joni malas.

Jika bukan karena Joni yang memaksanya untuk pulang lebih cepat, tentunya dengan dalih alasan yang mendesak, mungkin gadis itu sudah menyelesaikan masalahnya dengan Atlanta. Namun sekarang lihatlah, kakaknya itu bahkan hanya mengitari jalanan kota seraya celingukan mencari sesuatu yang mampu menarik perhatiannya.

"Kita beli snack dulu buat syukuran," jawab laki-laki itu tersenyum penuh arti.

Elisa mendengus, merotasikan bola mata. "Syukuran apaan sih, Bang. Ada-ada aja."

"Loh, emangnya Mama belum cerita kalo nanti malam mau ada acara pengajian?"

Gadis itu beralih menggelengkan kepala. "Engga, emang siapa yang mau nikahan pake acara pengajian segala."

"Emang yang ngadain acara pengajian harus yang mau nikahan aja gitu? Engga kan."

"Ya terus apa?"

"Ya apalagi? Mama pengen adain acara pengajian itu itung-itung syukuran karena kamu berhasil menangin kompetisi kemarin. Gak ada salahnya kan? Yang dateng paling temen-temen Mama sama Papa, karyawan Abang di kantor juga katanya mau dateng, terus orang-orang komplek, paling segitu."

Gadis itu meloloskan napas berat, lalu memilih menolehkan pandangan ke samping kaca.

"Kenapa gak sekalian hajatan aja sih, Bang? Terus undang biduan. Lagian ngundang orang udah se-RT, kaya mau ngapain."

"Elisa, kalo ngundang biduan itu namanya bukan syukuran, tapi saweran."

Elisa tak menanggapi ucapan laki-laki di sampingnya yang kini tengah terkekeh. Dia merasa sebal dengan kakaknya. Tepat setelah itu mobil yang ditumpangi keduanya berhenti di depan toko yang menjual banyak kue kering.

"Mau ikut gak? Atau mau nunggu di sini?" tanya Joni ketika melepas sealtbeath.

"Ikut atuh. Kalo Elisa diculik gimana? Yang repot nanti kan Abang," ucapnya, dan disambut suara tawa Joni yang cukup menggelitik.

Gadis itu mengekori Joni dari belakang, melihat keseluruhan toko yang dipenuhi kue-kue beraneka ragam. Sementara kakaknya yang menelusuri setiap rak sampai ke ujung ruangan, Elisa memilih berdiri di depan kaca besar yang menghadap langsung ke jalan raya lenggang.

Kembali dengan lamunan, pun pandangannya menengadah melihat langit yang sedikit keabu-abuan, menandakan hujan akan segera turun, Elisa menghela napas, isi pikirannya hanya dipenuhi oleh Atlanta.

"Atlanta udah pulang dari sekolah belum ya?" Monolognya.

Ah, dia benar-benar sangat penasaran dengan luka memar di tulang pipi Atlanta yang sempat ia lihat. Siapa yang berani melakukan itu pada Atlanta. Elisa merogoh ponselnya, dan melihat deretan chat yang tempo hari ia kirim pada Atlanta. Ia mendengus, bahkan sejak hari itu pun Atlanta tak pernah membalas pesannya, atau sekedar membacanya.

Ketika pandangan itu kembali terangkat menoleh ke arah jalan raya, Elisa mengerutkan kening sembari menyipitkan bola mata, memperjelas penglihatannya pada sosok anak perempuan di seberang jalan sana.

"Popi?"

Benar, itu Popi. Terlihat anak itu masih berjualan di trotoar. Elisa segera keluar dari dalam toko, tak lupa ia pun mencoba menghubungi Joni yang masih setia memilih beberapa kue di dalam toko.

"Apa sih, El. Pake telpon segala."

"Bang, Elisa mau ketemu sama temen dulu ya. Nanti Abang nyusul ke rumah singgah seberang jembatan yang di samping kedai Mie ayam Pak Junarto, tau kan?"

Surat untuk AtlantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang