44

258 18 2
                                    

"Kok elo tiap hari disini sih?" Rere menyesap rokoknya sembari melihat Maya yang sedang tiduran di sofa lepek. Matanya di tempeli timun yang sudah lumayan peot. Maya menemukannya di dalam kulkas. Sayang kalau ditimunin.

Maksudnya dianggurin.

Rere baru saja tiba dikontrakannya, lebih tepatnya kontrakan Maya. Karena yang setiap bulan membayarnya tetaplah Maya. Walaupun Maya jarang sekali unjuk hidung dikontrakannya tersebut.

"Gue hampir tiap sore kesini. Pas lo gak ada"

Rere tidak membantahnya. Karena Rere pun menyadari kalau Maya sering mengunjungi kontrakan yang tiap hari ditempatinya. Terbukti, di saat malam hari ataupun pagi hari, keadaannya sudah berubah menjadi rapih. Semua pakaian kotor Rere pun Maya urus.

Tapi, laundry.

Rere hanya menikmati kehidupannya saja. Kerja, kerja, kerja dengan uang yang tidak seberapa. Bahkan untuk menyewa rumah saja Rere tidak mampu. Life style gadis itu setara dengan istri-istri pejabat komisaris BUMN. Tas branded, kebiasaan minum  es teler yang harganya fantastis. Beer hanyalah minuman selingan ketika dia dalam masa krisis ekonomi.

Maka sering sekali Rere meladeni dua pria sekaligus dalam semalam. Pernah sekali dengan tiga pria. Namun, Rere kapok, tidak mau coba-coba lagi karena selepas itu, ia langsung tepar dan absen sehari tidak ke Cambria.

"Lo gak ngasih tau ke Elang kan tentang background gue?" Rere memandangi Maya yang tenang sekali dalam posisinya. Seperti tidak ada beban sama sekali dalam hidup serunyam ini di dunia.

"Ngga lah. Yakali gue jeblosin temen sendiri" ucap Maya sambil terkekeh. Tidak ada nada benci dalam ucapannya. Maya memang sebaik itu. Namun, tidak membuat Rere terenyuh. Rasa dendam masih bercokol dalam hatinya.

Kemudian Rere melihat pergelangan tangan Maya. Entah ada berapa jahitan di lengan wanita itu. Rere tidak peduli. Untuk minta maaf pun, Rere pikir-pikir dulu.

"Kenapa lo bisa kenal Elang?" pertanyaan yang selalu menghantuinya akhirnya tersalurkan.

"Oh. Ada problem dikit. Tapi, udah kelar kok. Gue gak ada urusan lagi sama dia" ucap Maya berat hati.

"Gue gak suka lo deket-deket sama dia"

Maya menyingkirkan timun yang mengahalangi kelopak matanya. Kemudian duduk sila agar bisa berbicara dengan nyaman.

"Jadi, pacar yang sering elo keluhkan itu dia?" Dia yang dimaksud adalah Elang. Mungkin telinga Elang kini sedang panas kemerahan karena sedang jadi bahan pembicaraan sedikit serius pagi ini.

Rere mengangguk samar. Lalu menyesap rokoknya kembali. Abu rokoknya dibiarkan berceceran di lantai.

"Wajar sih, kalo dia mungkin sedikit berbeda yang sering elo keluh-keluhkan ke gue. Secara gitu kan, dia masih SMA. Masih di masa-masa indahnya. Itu sih kata orang, gue kan gak SMA" Maya meringis meratapi nasibnya. Sedangkan Rere masih belum belum mengeluarkan suara dari bibir pucatnya. Mungkin lipstick-nya sudah habis dimakan lelaki.

"Yah, lo juga ngerti lah, umur segitu masih bucin-bucinnya. Belom mikirin apa-apa. Yang dia tau cuma cinta-cintaan. Gue aja sangsi dia mikirin pelajaran sekolah atau nggak" jelas Maya yang membuat Rere menatapnya penuh selidik.

"Kok kayanya lo tau banget tentang cowok gue?" mata Rere memicing curiga.

Maya tergagap "Ehh,.."

"Elo sering ngelayanin dia ya? Iyakan?!" Rere menaikkan intonasi suaranya.

"Ngga Re, gue gak pernah dapet job dari dia. Dia malah ngga tau gue kerja apa"

"Terus kenapa lo bisa kenal dia hahh?!"

BERONDONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang