20. forever

194 28 9
                                    

Jay menghela nafas, lalu perlahan melepaskan pelukan Mamanya. Kini ia menatap kedua mata Mamanya dan berkata, "Ma, aku kan udah bilang, kalau Papa nyakitin Mama lagi, telepon aku, jangan diem aja."

Wanita itu mengangguk dan membalas, "Iya, maafin Mama ya."

"Udah gausah minta maaf, udahan juga nangisnya, aku gak akan temuin Papa," ujar Jay sambil mengusap air mata Mamanya.

"Yaudah kalau gitu aku sama Naveera pamit ya. Mama jaga kesehatan, dan kalau ada masalah apapun, telepon aku aja ya," ujar Jay lalu mencium tangan Mamanya itu, begitu pun Naveera.

"Pamit ya, Tante" ujar Naveera, dan dibalas dengan anggukkan dan senyum manis dari Diana.

Setelah itu mereka kembali ke mobil. Namun Jay hanya terdiam setelah menyalakan mesin mobil. Tatapannya kosong, namun banyak yang ia pikirkan sekarang. Naveera yang melihat itu menggenggam tangan Jay dan bertanya dengan suara yang lembut, "Are you okay?"

Jay menggeleng pelan dan menjawab, "I'm not okay, Ra."

Naveera mengelus tangan Jay tanpa berkata apapun, hingga detik berikutnya Jay tiba-tiba berkata, "Aku pernah minta ke Mama untuk cerai aja sama Papa, toh Mama udah berkarir lagi, jadi tanpa Papa juga Mama masih sanggup biayain hidup sendiri, tanpa harus bergantung sama Papa. Tapi Mama gak mau cerai."

"Alasannya klasik, Mama cinta banget sama Papa, dan punya prinsip untuk gak cerai dan cuma mau menikah sekali seumur hidup," lanjutnya sambil tertawa hambar.

"Aku tau Mama memang secinta itu sama Papa, sampe sering disakitin pun Mama tetep gak mau pisah sama Papa. Aku menghargai kemauan Mama, tapi lama-lama aku muak juga liat Papa nyakitin Mama terus."

Naveera mendekatkan dirinya kepada Jay, lalu mengelus-elus pundak Jay, guna memberikan kekuatan. Ia tidak banyak bicara, namun mendengarkan setiap kata yang Jay ucapkan dengan saksama.

"Aku gak peduli kalau Papa nyakitin aku, mukulin aku, gapapa aku terima. Tapi aku gak bisa terus-terusan liat Mama disakitin, sakit banget rasanya. Kapan ini semua akan berakhir ya, Ra? Kapan Papa mau berubah?" Jay menatap Naveera, tatapannya memancarkan sebuah luka.

"Rara..."

"...Aku capek."

Tepat saat itu, setetes airmata menetes dari mata Jay. Air mata yang sering ia tahan, dan jarang ia tunjukkan di depan banyak orang.

Untuk pertama kalinya, Jay menangis dan terlihat selemah ini di depan Naveera.

Tanpa banyak bicara, Naveera membuka tangannya, menawarkan pelukan hangat untuk Jay. Jay pun masuk ke dalam pelukan Naveera, dan menangis di pundak pacarnya itu.

Naveera mengelus-elus punggung Jay sambil membisikkan kata-kata penenang dengan suara lembutnya, "Gapapa, jangan ditahan-tahan nangisnya, keluarin semuanya aja, nangis sepuasnya, ya."

"Maaf, Ra..." ujar Jay disela tangisannya.

"Gapapa, nangis bukan sebuah kesalahan atau sesuatu yang memalukan." Naveera kini mengusap-usap kepala belakang Jay, memberikan kenyamanan dan ketenangan untuk Jay.

"Aku capek, Ra," ucap Jay yang masih menangis sampai bahunya sedikit bergetar.

Seolah-olah bisa merasakan sakit yang Jay rasakan, hati Naveera terasa sesak melihat Jay menangis sampai terisak seperti ini. Matanya terasa panas, dan mulai berkaca-kaca namun ia bertekad untuk tidak menangis, karena saat ini Jay membutuhkan kekuatan darinya.

"Yang kuat ya, Sayang."

"Sabar ya, semoga masa-masa sulit ini cepet berakhir ya. Sekarang kamu punya aku yang akan nemenin kamu untuk ngejalanin ini semua. Jangan nyerah, kita pasti bisa lewatin ini semua, kita berjuang bareng-bareng ya."

felicity ; enhypen jayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang