PD || Twelve

1.5K 107 6
                                    

Makan siang telah tiba. Shandy terus menghubungi Nindy agar menuju ruangannya, namun tak ada jawaban dari Nindy.

"Ron, tolong panggilkan Nindy, sekarang. Penting." ucap Shandy kepada salah seorang ob yang kebetulan mengantarkan minuman.

"Baik Pak"

Beberapa saat kemudian Nindy masuk ruangan dengan wajah sedikit jutek.

"Kenapa pak?"

"Duduk" ucap Shandy sambil menepuk tempat disebelah nya. Shandy meraih kedua tangan Nindy.

"Madep coba, dengerin ya. Jujur, aku udah nyaman banget sama kamu, aku juga udah sayang sama kamu. Tentang Ria, kamu ga usah khawatir. Dia udah bersuami dan dia bukan mantan aku. Kita cuma temen." Shandy mengucapkan nya dengan nada yang begitu lembut, peka juga.

"A-aku cuma takut jatuh terlalu dalam. Aku trauma sama laki-laki kak. Aku ga mau ngulang itu." ucap Nindy. Tak terasa air mata nya ikut meluruh.

"Jangan nangis, aku janji, kamu satu-satunya."

Shandy membawa Nindy kedalam dekapannya. Ia akan berusaha mencintai Nindy, bukannya rasa nyaman dan sayang lama-lama akan berubah menjadi cinta? Kalau iya, Shandy akan berusaha mencari hasilnya. Nyaman+sayang=cinta.

"Eh ganggu ya?" ucap Rindu yang kebetulan mau nyerahin berkas. Nindy hendak melepaskan pelukannya, namun ditahan oleh Shandy.

"Ketuk dulu bisa kan?"

"Maaf Pak, saya cuma nyerahin berkas ini untuk ditanda tangani bapak."

"Taro dimeja aja dan kembali bekerja"

"I-iya" setelah kepergian Rindu, Nindy memberontak untuk lepas dari pelukan Shandy, namun tetap saja tidak bisa lepas.

"Lepasin,"

"Dipeluk suami kok nolak, udah gini aja"

"Laper, emang bapak ga laper apa?"

"Surat phk ada dimeja loh Nin"

"Biarin, suami gue kan takjir banget. Kekayaan nya 7 turunan ga bakal habis."

"Gue keturunan ke 9 gimana?"

"Dih, orang Fiki aja masih takjir gitu, sampe-sampe dia bisa beliin hadiah doinya yang mahal."

"Jadi bini nya Fiki aja sono."

"Ga ah, mau jadi bininya Fajri aja, dia lebih kalem," Shandy mendengus kesal.

Eum jangan lupakan posisi mereka, mereka masih mendekap satu sama lain.

Shandy menghubungi seseorang untuk pesan makanan. Beberapa saat kemudian, makanan yang Shandy pesan sudah datang. Satu meja hampir penuh dengan berbagai jenis makanan. Minuman nya juga demikian, padahal yang makan cuma dua orang.

"Ga usah protes, cepet abisin," ucap Shandy.

Nindy sedang berada di fase diet, tapi makanan di depannya sangat menggoda. Kalau di makan, ntar berat badannya naik. Kalau ga dimakan, mubazir juga. Apalagi suaminya ini pesan banyak.

"Kenapa cuma diliatin? Bukan selera kamu? Atau kamu alergi?"

"Diet," lirih Nindy.

"Ga usah diet-dietan, udah laku juga," ketus Shandy.

"I-iya,"

Sebenarnya niat ga niat sih, bisa gagal dong program diet nya. Makanan didepannya sangat menggoda, batal ga nih.

"Makan Nindy"

Akhirnya Nindy mengambil salah satu makanan yang menurutnya tak membuat berat badannya naik.

Setelah selesai makan siang, Shandy mengajak Nindy untuk pulang. Padahal kerjaan Nindy menumpuk, belum lagi harus mengatur jadwal meeting, pertemuan dan sebagainya. Jangan kalian pikir mudah menjadi seorang sekertaris, seribet ini.

"Nurut, bos kamu suami kamu."

"Nirit, pak Shandy yang terhormat. Walaupun bapak suami saya, tapi saya juga harus profesional. Saya permisi."

Shandy tersenyum menatap kepergian Nindy, ini yang ia sukai dari Nindy. Nindy tak menyalahgunakan statusnya, bahkan Nindy mengabdi pada perusahaan lain daripada menjadi pemimpin perusahaan di keluarga nya.

"Lo pacaran sama Pak bos?" tanya Rindu saat Nindy baru saja duduk.

"Ga."

"Terus tadi peluk-pelukan apa?"

"Ya-ya gitu."

"Oh ini yang namanya Nindy? Berani banget ya lo deketin Pak Bos." ucap salah satu karyawan. Mereka mendapat kabar ini bukan dari Rindu, namun dari staf yang mengantar makanan tadi.

"Masalah buat anda?"

"Ya masalah lah, lo tuh baru kerja beberapa bulan. Udah mau ngembat bos aja."

"Lo siapa?"

"Ada apa ini?" suara bariton dari belakang kerumunan membuat Linda bunkam. Linda adalah salah satu staf senior yang telah lama jatuh hati pada bos muda.

"Kenapa berkerumun disini? Makan siang sudah habis bukan?"

"Maaf sebelumnya, kami mendapat kabar dari Ivan kalau bapak dan Nindy berduaan di ruangan bapak."

"Emang kenapa? Salah? Nindy istri saya."

Semua staf terkejut, termasuk Nindy. Kenapa harus diberi tahu? Nanti apa yang akan ia dengar lagi?

"Robby, jelas kan sedetail mungkin."

Robby menceritakan semua kejadian di apartemen seminggu yang lalu. Robby adalah asisten pribadi Shandy. Dia juga yang ikut menghajar direktur apartemen itu.

"Ini undangan untuk kalian. Jangan lupa datang." ucap Robby mengakhiri ceritanya.

Acara pernikahan Shandy dan Nindy tinggal berjalan saja. Seharusnya 2 hari yang lalu, namun mereka berdua sama-sama belum siap. Jadi diundur.

"Kembali bekerja, Nindy kita pulang."

"Tap-"

"Robby selesaikan pekerjaan Nindy."

"Baik pak,"

Shandy menarik lembut tangan Nindy. Nindy dapat melihat raut bahagia dari kedua sahabat nya. Seakan-akan mereka sangat bahagia Nindy punya hubungan dengan laki-laki. Ya memang ini yang mereka harapkan. Kadang, mereka merasa iba terhadap Nindy yang apa-apa harus sendiri. Mereka sadar, kalau Nindy membutuhkan pendamping. Jadi apa salahnya mereka bahagia sekarang?

"Lepasin, maksudnya apa tadi? Ga tau deh hidup gue gimana kedepannya."

"Hidup lo terjamin."

"Terserah, pokoknya lo harus tanggung jawab kalau mereka bully gue. "

"Berani bully lo, surat phk diterima. Masuk."

"Nyenyenye"

















Ga mau banyak basa basi
Cuma mau bilang jangan lupa vote

Pak Bos Shandy [END✔|| Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang