PD || Fifteen

1.5K 118 3
                                    

Malam pun tiba, sinar mentari sudah tergantikan dengan sinar rembulan. Shandy, Nindy, serta Zweitson tengah asik makan malam dengan hidangan sederhana ala chef Nindy.

"Kok rasanya beda, lo lagi kesel Kak?"

"Kaga," jawab Nindy santai.

"Dia kesel, abis gue pecat," jelas Shandy.

"Oh, bagus deh, biar fokus ngurus suami," jawab Zweitson. Jawaban Zweitson sontak membuat Nindy membulatkan matanya, seenaknya bilang begitu.

"Bagus bagus, lo gimana?"

"Ga usah mikirin gue, gue udah kerja kok, sorry baru bilang," ucap Zweitson seraya menundukkan kepala. Ia tau diri dan Nindy terlalu baik menurutnya, diberi tempat tinggal saja sudah beruntung baginya.

"Sejak kapan? Kenapa lo baru ngomong dan apa ini alasan nilai lo turun?" tanya Nindy dengan nada datar. Ia tak suka jika Zweitson melakukan apapun tanpa berbicara dengannya terlebih dahulu, apalagi menyangkut Zweitson sendiri.

"Maaf," lirih Zweitson.

"Son, udah berapa kali kakak bilang, jangan kerja, semuanya kakak tanggung. Gue ga mau lo cape dan gue ga mau lo yang dulu balik lagi," ucapan Nindy melemah diakhir kalimat.

"Gue cuma mau mandiri kak," lirih Zweitson, namun ia sudah berani menatap Nindy. Shandy hanya memperhatikan saja, ia ingin tau ada apa dengan adik iparnya sampai-sampai Nindy begitu menjaganya.

"Boleh, tapi ga sekarang, lo masih pemulihan. Nurut sama gue, please, gue ga mau kehilangan lo," tak terasa air mata Nindy mengalir. Ia benci mengingat kejadian itu, kejadian yang membuat adik sepupunya itu rapuh, sangat rapuh.

"Kak, gue udah bisa nerima semuanya, semuanya yang terjadi diantara keluarga gue, orang tua gue, lo tenang, gue yang dulu udah mati kak," ucap Zweitson menyakinkan. Nindy menyeringai.

"Udah mati lo bilang? Lalu, luka lo, tangisan lo setiap malam, apa itu bukan ulah diri lo yang dulu? Son, gue tau, lo ga mau keliatan lemah, keliatan rapuh didepan banyak orang, lo selalu pasang wajah ceria lo seakan-akan ga ada kejadian apapun dihidup lo, tapi itu semua ga berlaku buat gue, gue udah kenal lo lama Zweitson Thegar," ucap Nindy penuh penekanan. Nindy amat menyayangi Zweitson. Nama Zweitson pun Nindy yang mengusulkan dulu.

"Abisin makanannya, abis itu istirahat dan berhenti kerja," Zweitson hanya mengangguk, sebenarnya rasa kesal dan bersyukur bercampur menjadi satu. Disaat semua keluarga membencinya, ada Nindy yang selalu ada di garis terdepan untuk melindunginya.

"Gue kekamar dulu," ucapan Zweitson hanya dibalas anggukan oleh Nindy dan Shandy.

"Ada apa sama masalalu adik lo?" tanya Shandy saat Zweitson sudah benar-benar masuk kamar.

*:..。o○ ○o。..:*

Oeek ooeekk ooeekk

Suara tangisan bayi membuat siapapun akan tersenyum gembira, bahkan reaksi tak biasa akan ditunjukkan, namun tidak dengan kelahiran kali ini. Tak ada yang menemani sang wanita, ia berjuang sendirian melahirkan putranya.

"Selamat bu, bayinya laki-laki," ucap bidan yang menangani.

"Buang saja bayi itu! Dia pembawa petaka!" wanita tersebut tak sedikitpun menyentuh bayinya. Sang bidan hanya menggeleng dan membawa bayi tersebut keruang bayi.

"Mamaaaa," teriak anak gadis yang baru saja pulang sekolah.

"Eh anak mama, kenapa langsung kesini?"

"Kangen, hehehe," kekehnya

"Ih ganteng, siapa ma?"

"Anaknya tante yang didalem," ucap sang mama pada putrinya.

"Nindy yang kasih nama ya?" sang mama berpura-pura tak yakin dengan putri bungsu nya ini.

"Boleh," ia pikir tak mengapa, karena ibunya saja tak mau memberi nama.

"Zweitson ma, aku suka nama itu," peliknya girang.

"Oke mama tambahin, Zweitson Thegar, bagus ga?"

"Bagus ma, hallo Zweitson, aku Nindy, kakak Nindy," kekehnya memperkenalkan diri.

"Beberapa tahun kemudian, tepatnya saat usia Zweitson 10 tahun, dia diasuh sama paman gue, kebetulan paman gue psikiater, psikisnya terganggu karena dari ia lahir ga ada yang mau ngurus dia, disalahin terus dan dianggap pembawa sial. Jangankan keluarga, tetangganya aja mencaci dia sana sini," jelas Nindy dengan penuh air mata. Setiap hari ia selalu mengunjungi Zweitson dirumah nya yang kebetulan tak terlalu jauh dengan sekolahnya, namun ia tak suka dengan perlakuan ibu Zweitson yang begitu tak menginginkan kehadiran Zweitson, baginya Zweitson adiknya, segalanya, ia tak mau Zweitson yang lalu kembali, sakit baginya bila mendengar tangisan Zweitson.

"Lo urus Zweitson, ga usah kerja. Beri dia kasih sayang, bantu dia bangkit, biarin dia kejar apa yang dia mau selagi itu baik buat psikisnya," ucap Shandy menenangkan.

"Makasih ya, lo cowo pertama yang mau bantu gue ngurus Zweitson, mantan gue selalu protes kalau gue terlalu perhatian sama Zweitson," ucap Nindy diiringi senyuman.

"Zweitson segalanya buat lo, kalau Zweitson kenapa-napa, lo pasti ga akan tenang, gue ga suka itu," lagi-lagi Nindy hanya tersenyum. Walaupun menyebalkan, Shandy ternyata penyayang dan pengertian.


















Cie yang mulai demen

Cie yang masih jomblo ~ Shandy

Gue haitusin lagi ni

Lapak Zweitson, Fenly, Ricky sama Gilang pasti butuh gue ~ Shandy

Gue ilangin😏

Ekhm, jangan lupa vote ya pembaca yang cantik, yang ganteng, biar cerita ini ga haitus ~ Shandy

Pak Bos Shandy [END✔|| Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang