PD || Twenty Eight

1.2K 62 7
                                    

Makan malam telah tiba, sore tadi keempat pemuda dibuat geleng-geleng karena tingkah Shandy. Bagaimana tidak, Shandy memborong semua jenis susu ibu hamil dan beberapa cemilan yang biasa Nindy makan. Terlalu berlebihan bukan?

"Mau buka toko?" tanya Nindy.

"Ga, ini buat lo semua dan ini dia roti es krim nya," mata Nindy melotot, Shandy membeli beberapa jenis eskrim dan roti tawar. Penuh nih kulkas.

"Mubazir kak,"

"Ga ada yang mubazir kalau buat anak kita," ucapan Shandy sambil tersenyum.

"Mau kemana 4 curut?" tanya Shandy saat melihat keempat pemuda keluar dari apartemen nya. Ia tak sempat bertanya.

"Ga tau, tadi ijin keluar," Shandy hanya mengangguk. Ia kembali menjinjing belanjaannya dan ia sendiri yang menata di dapur.

"Tugas aku kak,"

"Udah lo duduk aja, ini biar gue, mau gue bikinin susu yang mana?"

"Yang madu," Shandy kembali mengangguk. Ia mengambil salah satu kotak susu dan membaca cara menyeduhnya.

"Nih, cobain,"

"Makasih," Nindy menerima segelas susu yang baru saja dibuatkan oleh suaminya.

"Gimana? Pas?" Nindy mengangguk.

"Makasih ya kak," Shandy hanya tersenyum dan mengangguk. Tak terasa air mata Nindy menetes melihat Shandy yang tengah sibuk membenahi belanjaannya. Ia bersyukur diberi jodoh sebaik dan se pengertian Shandy, ya walaupun kadang ngeselin, tapi itu sifat murni Shandy dari ia kecil yang ga akan bisa diubah.

"Lo kenapa? Ada yang sakit?" Nindy menggeleng.

"Ga papa," ucapnya, lalu menghabiskan sisa susu digelas.

"Ada yang dipengen?"

"Ada," Shandy tersenyum was-was. Semoga ga aneh-aneh udah malem soalnya.

"Apa?"

"Tidur, tapi pisah," Shandy mengerutkan keningnya.

"Maksudnya?*

"Aku dikamar, kakak di depan TV, ga ada penolakan," ucap Nindy tanpa senyuman sedikitpun.

"Ya jangan dong," balas Shandy. Nindy terkekeh mendengar nada bicara Shandy, sebenarnya ia hanya ingin mengerjai saja.

"Bercanda kak,"

"Untung bini gue," lirih Shandy.

Pagi kembali menyapa. Rutinitas baru yang membuat Shandy harus ekstra jeli. Ia harus bangun paling pagi agar istrinya tak perlu repot-repot masak. Seperti itulah Shandy, setelah mengetahui kalau Nindy hamil, ia begitu protektif. Selama belum kedatangan asisten rumah tangga, Shandy lah yang akan mengurus semuanya. Walaupun, terkadang, Nindy melarangnya.

Seperti pagi ini, Nindy ingin memasak untuk sarapan mereka bertiga, namun dilarang keras oleh Shandy. Padahal, lelaki itu ada meeting pagi-pagi. Bisa telat jika masak terlebih dahulu. Apalagi, Shandy belum apa-apa, selesai sholat tadi langsung menuju dapur.

"Kak, biar aku aja, kakak mending mandi,"

"Ga, sekali gue bilang engga ya engga, mending lo duduk manis," Zweitson berdecak mendengar perdebatan pasutri itu. Sepertinya, ia harus pergi dari sini, supaya tak melihat perdebatan setiap saat.

"Diem ngapa sih, kak, diperhatiin suami juga,"

"Nah, bener tuh kata switsal,"

"Zweitson bang," koreksi Zweitson.

"Serah gue, mulut-mulut gue," balas Shandy masih dengan tangan yang sibuk memotong sesuatu.

"Kak, gue ngidam deh," Zweitson langsung menjauh, yang tadinya disebelah Nindy sekarang di ruang tengah. Sedangkan Shandy menatapnya sekilas, dalam hati ia berdoa supaya tidak macam-macam.

"Apa?"

"Pengen masak," hanya alibi. Dengan seperti ini, Shandy pasti tidak akan menolak.

"Ga,"

"Kak, ntar anak kita ileran gimana?"

"Mitos,"

"Kak," rengek Nindy.

"Nih ya gue jelasin, kenapa anak bayi ileran? Karena dia belum bisa mengendalikan air liur nya, ntah itu ditelen atau di buang. Kayak lo tidur, apa lo bisa meludah atau nelen air liur lo?"

Nindy mengedipkan matanya berkali-kali. Suaminya punya berapa kepribadian? Kocak, cuek, dan bijak. Namun, ia tak menyerah. Ntah ini beneran ngidam atau ga, pokoknya pengen masak buat suami.

"Kak!" sentaknya dengan raut wajah yang hendak menangis.

"Engga, Nindy,"

"Kakak mah jahat," ucap Nindy setelahnya meninggalkan area meja makan menuju kamar. Pintu kamar terdengar dibanting oleh bumil itu.

"Ya Allah," gumam Shandy. Ia mematikan kompor dan menuju kamarnya.

"Son, tolong lanjutin potong sosis sama bakso, terus digoreng," Zweitson hanya mengangguk pelan. Shandy tersenyum melihat istrinya yang tengah berada di balkon dengan sedikit isakan.

"Jangan sentuh!" sentak Nindy saat Shandy mengusap kepalanya. Bukannya menjauhkan tangannya, Shandy malah meraih tangan Nindy sambil berjongkok didepan nya.

"Kenapa jadi cengeng?"

"Pengen masak, hisk,"

"Tapi udah selesai,"

"Pokoknya pengen masak!"

"Masak apa?"

"Sop babi,"

"Ga bisa dimakan dong,"

"Bisa, semalem aku liat resepnya di instagram,"

"Iya bisa, tapi kita dilarang makan daging babi sayang,"

"Pokoknya mau masak itu,"

"Salah apa hamba," gumam Shandy.














Hayoloh ngidamnya susah. Bismillah ga sih?

Finally, yey, tepuk tangan dong, akhirnya bisa up lagi nih. Mana suaranya?

Siapa yang kangen sama pasutri ini?

Nb : Jangan jadi silent readers ya. Hargai penulis/author dengan memberi votmen dan jika tidak suka dengan alurnya bisa pergi, boleh memberi masukan asal tidak menghina, paham?

Pak Bos Shandy [END✔|| Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang