Malam itu adalah malam kesekian dia mencoba melarikan diri, mata kanannya bahkan masih membiru akibat hantaman tangan kanan pamannya, sudut bibirnya masih menggumpal darah kering yang sangat perih jika di bersihkan, maka dibiarkan saja olehnya.
Malam ini beruntung dia bisa mecapai Busan menaiki kereta ekspress sore tadi. Dia tetap menoleh kebelakang, berjaga apa ada kaki tangan pamannya yang membuntuti. Jika kali ini dia tertangkap lagi, bukan tidak mungkin dia berakhir di rumah sakit seperti beberapa waktu lalu.
Dia keluar stasiun kereta pukul sembilan malam lewat dua puluh tujuh menit dan langsung menuju pelabuhan Busan yang terkenal sibuk sepanjang hari. Jika tidak salah berita dari internet, akan ada kapal barang yang membawanya ke Amerika. Amerika, jauh dari Korea, jauh dari jangkauan pamannya yang brengsek.
Tapi baru beberapa meter dia keluar dari stasiun, titik-titik air turun membasahi dirinya, semakin lama semakin besar. Dia melangkahkan kakinya lebar-lebar, mencari tempat berteduh yang paling dekat. Hampir tidak ada satu tempat singgahpun yang menyediakan penginapan untuk dirinya.
Dari kejauhan dia melihat sebuah kanopi restoran yang gulung tikar dekat dengan pintu pelabuhan. Tidak banyak tempat untuk berteduh dari air memang, namun cukup membuat kepalanya tidak bertambah basah lebih lama.
Dia berdiri di sisi teraman dan terkering dari guyuran hujan, memeluk dirinya agar tidak kedinginan dan berharap bahwa hujan akan segera berhenti, agar dia bisa menyusup ke kargo kapal.
Tapi tak berapa lama, sesosok anak perempuan yang bahkan tingginya tidak sampai melewati pundaknya datang dari arah kanan. Bajunya basah akibat hujan malam ini dan rambut hitam gelap bergelombang miliknya pun terlihat sama sekali tidak menarik. Gadis kecil itu berdiri di sisi kanannya sambil memeluk tubuhnya kuat-kuat. Pasti dingin. Ini sudah bulan Oktober akhir dan hujan di malam hari tanpa tempat berteduh adalah sesuatu yang sangat sial.
"Tidak pulang?" tanyanya pada gadis itu setelah hampir dua puluh menit saling diam.
Gadis kecil itu hanya menggeleng cepat.
"Kenapa?"
Dan pada akhirnya, gadis kecil itu melihatnya, menatapnya. Bentuk mata almond dengan bola mata kelabu pucat bergradasi dengan cokelat keemasan. Aneh. Matanya seperti mata yang terpasang pada boneka. Bibirnya merah muda dengan bentuk yang sedikit membentuk huruf M pada bagian atas.
"Aku tidak punya rumah."
*
Vincenzo membuka matanya. Mimpi itu datang kembali. Bukan mimpi buruk memang, tapi cukup membuat lima belas tahun tidurnya terasa tidak nyaman. Dua bola mata polos yang terlihat aneh dan saat itu sangat mempeercayainya, beberapa saat yang lalu berubah menjadi mata yang dingin dan sangat ingin membunuhnya, seolah Vincenzo adalah rusa di luar marga satwa saat open season.
Samar-samar penciuman Vincenzo dapat menghidu aroma manis vanilla dari sisi kiri ranjangnya. Cha Young terbaring dengan mata terpejam karena pengaruh obat. Jika saja Vincenzo tidak memaksa Cha Young untuk menelan obatnya, mungkin pagi ini dia masih akan terduduk di balik meja kerja dan sibuk menganalisis semua data Chris.
Tapi saat ini disinilah Cha Young, terbaring dengan tubuh yang miring ke arahnya dengan kedua tangan terbuka di depan dada. Rambut cokelat bergelombangnya berantakan dan meskipun dalam keadaan tidur, Vincenzo tidak mengerti mengapa bibir merah muda pucat tersebut terlihat begitu menggoda? Tidak seharusnya bibir perempuan semenarik ini dimatanya.
Vincenzo mengusap pipi itu menggunakan punggung tangannya, mengikuti garis rahang yang halus hingga batas dagu, dan ibu jarinya mengusap bibir yang bagi Vincenzo tetap menggoda. Matanya tetap terkunci pada bulu mata panjang dan lebat milik Cha Young, kelabu dan cokelat keemasan? Tidak kah itu aneh untukmu? Kelabu identik dengan sesuatu yang suram dan dingin. Sedangkan cokelat selalu berarti kehangatan dan terlihat manis. Tidak kah mata itupun mempunyai arti seperti warnanya?