Husband (Prolog)

78 0 101
                                    

Pernikahan.

Apa yang kalian pikirkan jika mendengar satu kata itu?

Sepasang insan yang saling mencintai.

Hidup bersama.

Menjalani setiap waktu berdua dan... baiklah, masih banyak lagi hal-hal menyenangkan yang bisa dilakukan dengan adanya pernikahan itu.

Mungkin banyak sekali orang-orang yang memikirkan hal-hal positif saat membicarakan tentang pernikahan.

Tapi bagaimana jadinya saat sebuah pernikahan justru menjadi sebuah bencana bagi seseorang yang akan masuk ke dalam lingkup pernikahan itu sendiri?

Tidak ada cinta.

Tidak ada pikiran untuk hidup bersama.

Apalagi.. menjalani setiap waktu berdua.

Sungguh, Shin Jae Yeon benar-benar ingin mengutuk dirinya sendiri mengapa Ia harus mengalami hal menjijikan semacam ini.

"Aku tidak mau menikah!"

Suara wanita dua puluh lima tahunan itu terdengar tegas, menggema ke seluruh sudut ruangan bercat cokelat metalik yang menjadi kamarnya. Surai hitam sebahunya, jaket kulit yang melapisi thank top berwarna putih serta rok mini berbahan jeans tampak membalut tubuh tinggi semampainya. Ia juga mengenakan sepasang high heels berwarna hitam pekat, seperti Ia sudah siap untuk pergi ke suatu tempat malam ini.

Sementara itu, seorang wanita dan lelaki paruh baya yang saat ini berdiri di hadapannya tampak menanggapi seruannya tadi dengan senyuman tipis yang terkesan meremehkan.

"Ya! Shin Jae Yeon ."wanita yang berstatus sebagai Ibu kandung Jae Yeon itu tampak menghisap ujung sebatang rokok yang terselip diantara jari-jari lentiknya, Ia kemudian maju dua langkah ke hadapan Jae Yeon dan meniupkan asap rokok di mulutnya ke wajah Jae Yeon , membuat Jae Yeon langsung melayangkan tatapan menusuk padanya. "Sekuat apapun kau menolak, kau tidak bisa menghindari pernikahan ini. Kurasa kau tahu soal itu."

Rahang Jae Yeon mengeras. "Bisakah kau menjauhkan benda terkutuk itu dariku?"ujarnya dengan nada penuh penekanan.

Sang Ibu langsung mundur. "Oh! Baiklah."lalu menghisap rokoknya kembali, mengepulkan asap rokok itu dengan nada santai sembari melipat kedua tangannya di depan dada. "Jangan salahkan kami, oke? Salahkan saja kakekmu yang sudah membuat janji bodoh itu dengan sahabatnya sendiri. Tapi karena kakekmu sudah meninggal, jadi.."Ibu Jae Yeon tersenyum miring. "Kau tidak punya pilihan lain selain harus menerimanya."

"Ya, benar."kali ini sang Ayah yang menanggapi. Pria berperawakan tinggi tegap itu tengah menghembuskan napas panjang sembari memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. "Dan kau harus ingat, Jae Yeon . Keluarga kita tidak akan mendapatkan warisan satu persenpun jika kau menolak untuk menikah dengan cucu dari sahabat kakekmu. Apa kau ingin melihat kedua orang tuamu terus menerus hidup menderita seperti sekarang ini? Sementara dari pernikahan itu, kita bisa mendapatkan semua hal yang selama ini tidak bisa kita miliki. Bukankah itu sangat menguntungkan?"

Jae Yeon mendengus. "Jadi menurut kalian sangat menguntungkan menjual anak kalian sendiri demi sebuah harta warisan?"

"Jangan marah dulu."ujar sang Ibu, tersenyum renyah lalu melanjutkan. "Anggap saja semua ini demi kebaikanmu, hm?"Ia kembali mendekat, berniat mengelus kepala Jae Yeon dengan satu tangan namun Jae Yeon segera menepisnya.

"Jangan sentuh aku."kata Jae Yeon dengan nada serta tatapan yang terkesan dingin.

Sang Ibu hanya tersenyum miring, lalu mengangguk seolah Ia sudah paham dan terbiasa dengan sikap Jae Yeon yang seperti ini padanya. "Ya, baiklah. Ibu mengerti."

AngélWhere stories live. Discover now